TEMPO.CO, Jakarta - Manajemen PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex membeberkan kondisi pendapatan perseroan sedang menurun drastis. Salah satu penyebab utama dari penurunan pendapatan ini lantaran banyaknya produk tekstil murah dari Cina nan membanjiri pasar Indonesia.
Hal itu disampaikan manajemen Sritex menanggapi berita perusahaan tekstil terbesar di Indonesia itu bangkrut. “Tidak benar, lantaran perseroan tetap beraksi dan tidak ada putusan pailit dari pengadilan,” kata Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, dalam keterbukaan info ke BEI dalam surat tertanggal 22 Juni 2024.
Welly mengatakan perusahaan memang mulai mengalami penurunan pendapatan sejak munculnya Covid-19. Situasi ini kemudian memicu persaingan ketat dalam industri tekstil global, terutama lantaran adanya kelebihan pasokan tekstil di Cina.
Gempuran pasokan tekstil dari Cina itu, kata Welly, mengakibatkan terjadinya dumping harga tekstil nan menyasar negara-negara di luar Eropa dan Cina. Walhasil, penjualan peralatan dari PT Sritex belum pulih.
“Terjadinya oversupply tekstil di Cina nan mana produk-produk ini menyasar terutama ke negara-negara di luar Eropa dan Cina nan lenggang patokan impornya,” ungkap Welly.
Lebih lanjut, Welly menyatakan bahwa Indonesia termasuk negara dengan patokan impor nan tetap longgar. Hal ini terlihat dari Indonesia adalah salah satu negara nan tidak menerapkan bea masuk anti-dumping. "Tidak ada tarrif barrier maupun non-tarrif barrier," ujar Welly.
Tak hanya itu saja, kondisi geopolitik dunia juga memengaruhi penurunan pendapatan Sritex. Menurut Welly, kondisi geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina dan Israel-Palestina menyebabkan terjadinya gangguan supplychain yang berakibat pada penurunan ekspor.
“Penurunan ekspor lantaran terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat area Eropa maupun Amerika Serikat,” kata Welly.
Iklan
Kendati demikian, dia menyebut Sritex bakal tetap beroperasi. “Perseroan tetap beraksi dengan menjaga keberlangsungan upaya serta operasional dan elastisitas dalam menghadapi dinamika pasar."
Welly juga mengatakan proses restrukturisasi Sritex melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang alias PKPU sudah selesai. Adapun perkara nan masuk PKPU itu dengan Nomor 12/Pdt-Sus-PKPU/2021/PN Niaga Semarang pada 25 Januari 2022.
Wakil Ketua API Jawa Tengah, Liliek Setiawan, sebelumnya menyatakan industri tekstil tak bisa memperkuat di antaranya lantaran diberlakukannya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 tahun 2024 nan mengatur soal impor. Beleid itu, menurut dia, justru memperburuk kondisi industri TPT itu hingga berkapak ke industri kain, benang, dan serat sehingga tak lagi bisa meningkatkan utilisasinya nan sekarang hanya berkisar 45 persen.
Liliek menjelaskan, saat ini bukan lagi dumping yang kudu dihadapi oleh industri tekstil dalam negeri tapi sudah mengarah pada persaingan tak sehat berupa predatory pricing. Strategi terlarangan ini menjual peralatan di bawah nilai nan merupakan salah satu trik perdagangan nan bermaksud untuk monopoli.
"Sistem perekonomian dalam negeri saat ini kandas dalam melindungi pelaku maupun pasar dalam negeri," ujar Liliek dalam obrolan sekaligus konvensi pers di Kantor API Jawa Tengah di Kota Solo, Selasa, 25 Juni 2024.
RIZKI DEWI AYU | SEPTIA RYANTHIE
Pilihan Editor: Terkini Bisnis: Gelombang PHK di Industri Tekstil, Penyebab Kimia Farma Rugi Rp 1,8 Triliun