TEMPO.CO, Sukoharjo - Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Kurniawan Lukminto, mengungkapkan perkembangan terbaru dari langkah norma perusahaan itu untuk permohonan kasasi homologasi.
Ia menyebut berkas kasasi sudah dinyatakan komplit dan sudah dikirimkan kepada Panitera Mahkamah Agung di Jakarta oleh Pengadilan Negeri Semarang.
Permohonan tersebut ber-Nomor 1/Pdt.Sus-Homologasi/K/2024/PN Niaga Smg. Juncto Nomor 2/Pdt.Sus Homologasi/2024/PN Niaga. Smg. Juncto Nomor 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Smg.
"Hari ini, 12 November 2024, berkas kasasi Sritex sudah dinyatakan komplit dan sudah dikirimkan kepada Panitera Mahkamah Agung RI di Jakarta oleh PN Semarang," ujar Wawan, sapaan karibnya, saat menerima kehadiran Ombudsman RI di Pabrik Sritex Sukoharjo, Jawa Tengah, Selasa, 12 November 2024.
Ia menjelaskan kecepatan penanganan Sritex kudu menjadi prioritas lantaran menyangkut kelangsungan hidup lebih dari 50.000 ribu tenaga kerja serta industri pendukung lainnya. Perusahaan itu meletakkan angan besar pada Mahkamah Agung sebagai tembok terakhir peradilan agar dapat memberikan keputusan nan berkeadilan dan memberikan faedah seluas-luasnya.
"Saya minta Mahkamah Agung memberikan perhatian unik untuk menangani masalah kami. Kami berkejaran dengan waktu," katanya.
Wawan berujar keputusan sigap sangat dibutuhkan oleh pihak perusahaan agar kelangsungan upaya Sritex tetap terjaga dan tenaga kerja tetap dapat bekerja. "Dukungan dari beragam pihak menjadi penyemangat bagi kami untuk melalui masa susah ini," ucap dia.
Sementara itu, Yeka Hendra Fatika selaku personil Ombudsman RI, mengemukakan kedatangannya ke Sritex di antaranya mau menggali apakah ada persoalan jasa publik di kembali persoalan nan dialami Sritex.
"Ternyata setelah didalami banyak sekali persoalan jasa publik nan memang berpotensi maladministrasi jika persoalan Sritex tidak diselesaikan," ungkap Yeka.
Menurutnya, Ombudsman memiliki peran dalam mengusulkan perbaikan izin nan berpotensi menyebabkan maladministrasi. Dalam kasus Sritex, dia menjelaskan persoalan berangkaian dengan utang perusahaan nan nilainya jauh lebih besar dibandingkan dengan utang kepada satu supplier yang mencapai sekitar Rp 100 miliar.
“Kecil sekali porsinya, hanya 0,5 persen dari total utang Sritex. Dengan total utang lebih dari Rp 20 triliun, sungguh asing jika hanya utang Rp 100 miliar tersebut dapat membangkrutkan seluruh perusahaan,” ungkapnya.
Yeka menegaskan bahwa izin itu semestinya tidak dimanfaatkan oleh perseorangan nan beriktikad mengambil keuntungan.
"Dalam konteks ini, ada potensi penyalahgunaan oleh kepala kurator alias pengadil nan mungkin mencari untung pribadi. Dengan fee hingga 10 persen dari nilai utang, mereka bisa mendapatkan hingga Rp 2 triliun dari total utang Rp 20 triliun," katanya.
Selain konsentrasi pada kasus Sritex, Ombudsman juga tengah mengumpulkan info mengenai penyebab penurunan industri tekstil di Indonesia, terutama sekali maraknya produk impor nan berakibat negatif terhadap industri dalam negeri.