TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Hidup Layak—forum nan terdiri dari perwakilan sejumlah serikat buruh—menyampaikan empat dorongan mengenai kepantasan bayaran pekerja kepada pemerintah. Melalui survei nan digelar pada Agustus-September 2024, koalisi ini mengungkapkan kebanyakan pekerja terjerat utang dengan beragam alasan, terutama untuk memenuhi kebutuhan harian
Forum ini meminta pemerintah membikin formulasi kebijakan bayaran minimum nan bertindak secara nasional. “Dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan tanggungan rumah tangga buruh,” begitu bunyi poin pertama, nan dibacakan oleh Juru Bicara Koalisi Hidup Layak, Kokom Komalawati, pada Rabu, 23 Oktober 2024.
Koalisi ini juga meminta pemerintah mengendalikan nilai pada jenis-jenis pengeluaran makan dan non-makan, mulai dari nilai bahan bakar minyak, tarif dasar listrik, air, sembako, serta peralatan urusan publik lainnya. Regulator juga didesak memberikan akses agunan kesehatan cuma-cuma kepada seluruh rakyat, sudah mencakup perbaikan dan peningkatan sarana prasarana akomodasi kesehatan di daerah.
Poin ke-4 menyangkut penyediaan pendidikan murah dan berkualitas. “Dengan memastikan jumlah sekolah nan merata serta menyediakan sarana dan prasarana pendidikan nan memadai,” kata Kokom.
Survei Koalisi Hidup Layak itu mengungkapkan bahwa 200 alias 76 persen dari 257 pekerja terjerat utang. Sebanyak 143 responden menyatakan pinjaman itu demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Selebihnya, para pekerja berutang untuk membeli perangkat kerja (65 jawaban); membiayai pendidikan anak (54 jawaban), serta biaya sosial seperti khitanan, pernikahan, kematian, dan seremoni hari keagamaan (28 jawaban). Ada juga kebutuhan tempat tinggal (25), untuk biaya kesehatan (21), untuk upaya (16), transfer rumah tangga (8), maupun untuk bayar utang (5).
Ketika memaparkan hasil survei forumnya di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hidup Indonesia (YLBHI), Jakarta, Kokom menyebut bayaran per bulan rata-rata nan diterima oleh pekerja pada 2024 hanya Rp 3,4 juta. Jumlah ini tak sebanding dengan total pengeluaran untuk konsumsi per bulan, nan diperkirakan menembus Rp 9,47 juta. Adapun rata-rata angsuran utang per bulan sekitar Rp 1,65 juta.
Iklan
"Jelas bahwa teman-teman (buruh) untuk memenuhi kebutuhan hidup saja tidak ter-cover dalam upahnya,” kata Kokom
Sesuai hitungan tersebut, ada defisit sekitar Rp 7,72 juta nan diperlukan pekerja untuk memeuhi kebutuhan sehari-hari, sekaligus untuk menambal cicilan. Tiga opsi teratas nan dilakukan buruh, merujuk hasil survei, adalah menambah jam kerja, mengurangi konsumsi, serta berutang kembali.
Rata-rata jumlah utang nan dimiliki oleh 200 narasumbe itu sebesar Rp 19,5 juta, dengan rata-rata angsuran sebesar Rp 1,65 per bulan. Bila memakai nilai median bayaran sebesar Rp 5,43 juta, tutur Kokom, setiap bulan pekerja selalu mengalami defisit Rp 1,92 juta.
“Kekurangan pendapatan ini bakal semakin besar jika angsuran utang menjadi prioritas utama rumah tangga buruh,” ucap dia, sesuai hasil survei.
Pilihan Editor: Prabowo Akan Putihkan Utang 6 Juta Petani dan Nelayan, Ini Respons Manajemen BSI dan BTN