TEMPO.CO, Jakarta -Peneliti Ekonomi Center of Strategic and International Studies (CSIS), Dandy Rafitradi, menjelaskan ancaman kekuasaan investasi Cina di Indonesia, khususnya di sektor mineral dan pertambangan. Kata Dandy, bertumpunya perekonomian Indonesia terhadap investasi Cina sangat berisiko bagi perekonomian dalam negeri.
"Kalau Indonesia hanya bertumpu pada investasi Cina, lampau di saat berbarengan misalnya AS mengenakan pajak tambahan untuk peralatan Cina, maka guncangan perekonomian di sana juga berakibat ke Indonesia," kata Dandy kepada Tempo, Senin, 1 Juli 2024.
Menurutnya, perlu upaya diversifikasi investasi agar suasana investasi dalam negeri bisa lebih stabil. Dengan beragamnya investasi dari negara asing, Dandy memperkirakan bakal membangun daya saing nan kuat untuk meningkatkan standar lingkungan dan akibat sosial nan ditimbulkan.
Lebih lanjut, Dandy mengatakan ketergantungan bakal invesatasi negara gorden bambu itu disebabkan lemahnya komitmen pemerintah dalam menciptakan investasi berkepanjangan alias ramah lingkungan.
Dandy memandang selama ini Cina memanfaatkan kondisi tersebut dengan mengguyur investasi nan cukup besar. Saat ini, kata dia, investasi Cina nyaris menyentuh nomor 50 persen di sektor pertambangan. "Jadi pemerintah memang condongnya ke Cina lantaran lebih friendly dan tidak menerapkan standar nan tinggi. Cina juga termasuk negara nan lemah dalam perihal ini. Tapi, kan, ini untuk jangka panjang adalah masalah," kata Dandy.
Dandy mencontohkan, ketika perekonomian Cina terguncang dan terjadi over kapabilitas produksi, dampaknya langsung dirasakan di Indonesia. Hal tersebut bisa saja terjadi di sektor pertambangan dan pembangunan nan banyak melibatkan modal dari Cina.
Untuk itu, Dandy mendorong agar pemerintah punya izin nan progesif dalam peningkatan standar lingkungan dan akibat sosial nan ditimbulkan oleh investasi. Menurut dia, posisi tawar Indonesia sangat penting, terlebih dalam menghadapi ancaman krisis suasana dan sasaran bebas emisi pada 2060.
"Kalau saat ini kami memandang pemerintah tidak terlalu peduli terhadap akibat lingkungan nan buruk. Cina memandang Indonesia mau-mau saja lantaran lagi butuh investasi," ujarnya.
Iklan
Kendati demikain, saat ini Dandy belum memandang kebijakan pemerintah untuk menata agar investasi asing sejalan dengan ekonomi berkelanjutan. "Sepertinya pemerintah belum ada kebijakan nan mengarah ke sana," katanya.
Bonanza nikel dan geliat hilirisasi adalah pemicu mengalirnya investasi asing, khususnya dari Cina dan Hongkong di masa rezim Jokowi. Berdasarkan info Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM), kedua negara itu baru menyumbang 5,1 persen terhadap total modal asing. Persentasenya terus menggelembung hingga mencapai puncaknya pada 2022 dengan 30,1 persen terhadap total investasi asing dalam negeri.
Dihubungi terpisah, periset dari Transisi Bersih, Adurrahman Arum Rahman, mengungkapkan tren tersebut bakal menjadi ganjalan bagi Indonesia untuk mencapai nett zero emission 2060. Sebab, kata Rahman, demam nikel justru mendorong peningkatan pemanfaatan batu bara.
Rahman bilang dua mineral itu sekarang saling terkait. Sebab, dalam industri hilirisasi nikel, pemerintah merestui bagi modal asing untuk bikin PLTU batu bara baru. Jumlah PLTU untuk menopang industri smelter nikel itu diproyeksikan bakal berkapasitas mencapai 25,2 gigawatt. Jumlah itu setara 72 persen dari kapabilitas total PLTU nan ada saat ini ialah 34,8 gigawatt.
“Program hilirisasi nan menggunakan daya batu bara tidak koheren dengan program bebas emisi. Ini seperti menguras air kolam, sementara pada saat nan sama mengisi kolam dengan air nan baru. Program hilirisasi dapat menggagalkan program bebas emisi nan berbiaya sangat mahal,” katanya.
Pilihan editor: Didominasi Cina, CSIS Sebut Keberagaman Investasi Indonesia Masih Rendah
NANDITO PUTRA