TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan mengenai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) pada Kamis, 31 Oktober 2024.
Gugatan dengan nomor perkara 168/PUU-XXI/2023 tersebut diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja lainnya.
“Mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan perkara di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, nan dipantau dari YouTube MK RI.
Adapun dari sekitar 70 pasal nan digugat, MK hanya mengubah 21 pasal. Pasal-pasal tersebut mencakup patokan mengenai pengupahan, tenaga kerja asing (TKA), pemutusan hubungan kerja (PHK), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) alias pekerja kontrak, hingga pesangon.
Mengutip putusan nomor 168/PUU-XXI/2023, berikut perubahan dalam UU Cipta Kerja nan ditetapkan oleh MK:
Pasal 42 ayat (1) dalam Pasal 81 nomor 4 Lampiran UU Cipta Kerja
“Setiap pemberi kerja nan mempekerjakan tenaga kerja asing wajib mempunyai rencana penggunaan tenaga kerja asing nan disahkan oleh menteri nan bertanggung jawab di bagian (urusan) ketenagakerjaan, in casu Menteri Tenaga Kerja.”
Sebelumnya:
“Setiap pemberi kerja nan mempekerjakan tenaga kerja asing wajib mempunyai rencana penggunaan tenaga kerja asing nan disahkan oleh pemerintah pusat.”
Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 nomor 4 Lampiran UU Cipta Kerja
“Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk kedudukan tertentu dan waktu tertentu serta mempunyai kompetensi sesuai dengan kedudukan nan bakal diduduki. dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.”
Sebelumnya:
“Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk kedudukan tertentu dan waktu tertentu serta mempunyai kompetensi sesuai dengan kedudukan nan bakal diduduki.”
Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 12 Lampiran UU Cipta Kerja
“Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melampaui paling lama 5 (lima tahun), termasuk jika terdapat perpanjangan.”
Sebelumnya:
“Jangka waktu alias selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berasas perjanjian kerja.”
Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 nomor 13 Lampiran UU Cipta Kerja
“Perjanjian kerja waktu tertentu kudu dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.”
Sebelumnya:
“Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta kudu menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.”
Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 nomor 18 Lampiran UU Cipta Kerja
“Menteri menetapkan sebagian penyelenggaraan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bagian pekerjaan alih daya nan diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya.”
Sebelumnya:
“Pemerintah menetapkan sebagian penyelenggaraan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).”
Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 nomor 25 Lampiran UU Cipta Kerja
“Waktu rehat dan libur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: b. rehat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.”
Sebelumnya:
“Waktu rehat dan libur sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi: b. rehat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu alias 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.”
Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 nomor 25 Lampiran UU Cipta Kerja
“Selain waktu rehat dan libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu memberikan rehat panjang nan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, alias perjanjian kerja bersama.”
Sebelumnya:
“Selain waktu rehat dan libur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan rehat panjang nan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, alias perjanjian kerja bersama.”
Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 nomor 27 Lampiran UU Cipta Kerja
“Setiap pekerja/buruh berkuasa atas penghidupan nan layak bagi kemanusiaan, termasuk penghasilan nan memenuhi penghidupan nan merupakan jumlah penerimaan alias pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga bisa memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar nan meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan agunan hari tua.”
Sebelumnya:
“Setiap pekerja/buruh berkuasa atas penghidupan nan layak bagi kemanusiaan.”
Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 nomor 27 Lampiran UU Cipta Kerja
“Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan kewenangan pekerja/buruh atas penghidupan nan layak bagi kemanusiaan dengan melibatkan majelis pengupahan wilayah nan di dalamnya terdapat unsur pemerintah wilayah dalam perumusan kebijakan pengupahan nan menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan.”
Sebelumnya:
“Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan kewenangan pekerja/buruh atas penghidupan nan layak bagi kemanusiaan.”
Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 nomor 27 Lampiran UU Cipta Kerja
“Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi struktur dan skala bayaran nan proporsional.”
Sebelumnya:
“Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi struktur dan skala upah.”
Pasal 88C dalam Pasal 81 nomor 28 Lampiran UU Cipta Kerja
Iklan
“Gubernur wajib menetapkan bayaran minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota.”
Sebelumnya:
“(1) Gubernur wajib menetapkan bayaran minimum provinsi. (2) Gubernur dapat menetapkan bayaran minimum kabupaten/kota.”
Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 nomor 28 Lampiran UU Cipta Kerja
“Formula kalkulasi bayaran minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Indeks tertentu merupakan variabel nan mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi alias kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh.”
Sebelumnya:
“Formula kalkulasi bayaran minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.”
Pasal 88F dalam Pasal 81 nomor 28 Lampiran UU Cipta Kerja
“Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan bayaran minimum nan berbeda dengan formula penghitungan bayaran minimum sebagai dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2). nan dimaksud dengan dalam keadaan tertentu mencakup antara lain musibah alam alias non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian dunia dan/atau nasional nan ditetapkan oleh presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Sebelumnya:
“Dalam keadaan tertentu pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan bayaran minimum nan berbeda dengan formula penghitungan bayaran minimum sebagai dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).”
Pasal 90A dalam Pasal 81 nomor 31 Lampiran UU Cipta Kerja
“Upah di atas bayaran minimum ditetapkan berasas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh alias serikat pekerja/serikat pekerja di perusahaan.”
Sebelumnya:
“Upah di atas bayaran minimum ditetapkan berasas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh di perusahaan.”
Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 nomor 33 Lampiran UU Cipta Kerja
“Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala bayaran di perusahaan dengan memperhatikan keahlian perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.”
Sebelumnya:
“Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala bayaran di perusahaan dengan memperhatikan keahlian perusahaan dan produktivitas.”
Pasal 95 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 36 Lampiran UU Cipta Kerja
“Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen selain para kreditur pemegang kewenangan agunan kebendaan.”
Sebelumnya:
“Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur selain para kreditur pemegang kewenangan agunan kebendaan.”
Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 nomor 39 Lampiran UU Cipta Kerja
“Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat alias pemerintah wilayah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk majelis pengupahan nan berperan-serta secara aktif.”
Sebelumnya:
“Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat alias pemerintah wilayah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk majelis pengupahan.”
Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 40 Lampiran UU Cipta Kerja
“Dalam perihal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.”
“Dalam perihal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak pemutusan hubungan kerja, penyelesaian pemutusan hubungan kerja wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.”
Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 nomor 40 Lampiran UU Cipta Kerja
“Dalam perihal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja batal demi hukum, andaikan tidak dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”
Sebelumnya:
“Dalam perihal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial”
Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 nomor 49 Lampiran UU Cipta Kerja
“Pelaksanaan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial nan berkekuatan norma tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI.”
Sebelumnya:
“Pelaksanaan tanggungjawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya.”
Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 nomor 47 Lampiran UU Cipta Kerja
“Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit:”
Sebelumnya:
“Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:”
Pilihan Editor: Kabulkan Sebagian Gugatan Partai Buruh, MK Sebut Libur 1 untuk 6 Hari Kerja Bertentangan dengan UUD