TEMPO.CO, Banjarmasin - Penjabat Kepala Desa Cantung Kiri Hilir, Kecamatan Kelumpang Hulu, Kabupaten Kotabaru, Alekman, mengatakan masyarakat Dayak Batulasung mempertanyakan tukar rugi tanam tumbuh dan plasma atas 5.801 hektar kebun sawit Sungai Kamboyan Estate (SKBE) dan Sungai Mantawigi Estate (SMGE) milik PT Jhonlin Agro Raya Tbk.
Alekman bilang masyarakat bakal tindakan tenteram di kebun sawit PT JAR pada Kamis pekan depan, 24 Oktober 2024, untuk penjelasan penguasaan lahan 5.801 hektare oleh PT JAR. "Kalau belum bisa membuktikan, mari cari solusinya,” kata Alekman kepada Tempo, Sabtu, 19 Oktober 2024.
Menurut dia, luasan lahan nan diklaim masyarakat itu merujuk pada tiga Peraturan Bupati Kotabaru dan hasil penjelasan Bagian Tata Pemerintahan Setdakab Kotabaru. Alekman merinci tiga perbup nan dimaksud terdiri atas Perbup Kotabaru Nomor 50 Tahun 2020, Perbup Kotabaru Nomor 32 Tahun 2017, dan Perbup Kotabaru Nomor 201 Tahun 2022. Ketiga perbup mengatur pemisah Desa Cantung Kiri Hilir.
"Di dalam tiga perbup ini terdapat kebun PT JAR dengan luasan 5.801 hektar," kata Alekman. Namun, pihaknya siap mengukur ulang luas lahan nan dimaksud sesuai kondisi lapangan dengan support Pemkab Kotabaru.
Ia mengakomodir masyarakat nan merasa punya surat penguasaan bentuk tanah, tapi belum menerima tukar kerugian. Sebab, Alekman belum pernah mendapati berkas dan arsip tukar rugi lahan masyarakat di pemerintah desa dari emiten berkode JARR itu.
Padahal, kata dia, perolehan Hak Guna Usaha di atas penguasaan pihak lain, kudu diberi tukar kerugian tanam tumbuh sesuai kesepakatan. Pihaknya siap berkompromi menentukan skema terbaik tukar kerugian tanam tumbuh tanah masyarakat nan belum menerima pembayaran.
Selain itu, kata Alekman, masyarakat mempersoalkan kemitraan plasma sawit oleh PT JAR. Ia mengingatkan perusahaan kudu menyisihkan 20 persen lahan untuk kebun plasma masyarakat dari total lahan nan diusahakan perusahaan. Di Desa Cantung Kiri Hilir, setahu dia, PT JAR belum melaksanakan pola 80:20, ialah 80 persen kebun inti dan 20 persen kebun plasma.
“Tanah itu dikelola masyarakat secara budaya sejak 1936. Tahun 2017 jadi lahan kebun sawit PT JAR, padahal belum pernah ditemukan berkas tukar rugi tanam tumbuh dan surat jual beli. Sosialisasi pun belum pernah,” ucap Alekman.
Kepala Adat Dayak Batulasung, Riwinto, menuturkan persoalan ini pernah mengemuka pada akhir 2019 lalu, tapi belum ada solusinya. Alhasil, masyarakat terus mempertanyakan penguasaan lahan oleh Jhonlin Agro Raya. “Ada ketidakpuasan masyarakat. Menurut kami 5.801 hektar itu rimba ulayat Dayak Batulasung, sehingga kami ada kewenangan di situ,” kata Riwinto.
Iklan
Riwinto turut mempertanyakan lahan sawit 96 hektar nan dikuasai oleh PT JAR dari pelepasan area lewat program TORA tahun 2019. Sebab, kata dia, lahan itu semestinya untuk pertanian masyarakat Desa Cantung Kiri Hilir. "Ternyata saat ini juga dijadikan kebun PT JAR," ucapnya.
Ihwal rencana tindakan tenteram di kebun PT JAR, Riwinto berbicara kemungkinan ada sekitar 200 masyarakat Dayak berperan-serta dalam tindakan tersebut. Menurut dia, ritual budaya bakal mengawali aksi, sebelum masyarakat menyuarakan aspirasinya.
Arpani, misalnya. Ia salah satu masyarakat nan menguasai lahan 200 hektare kewenangan ulayat budaya warisan dari orang tuanya. Klaim kepemilikan ini dibuktikan melalui surat keterangan penguasaan bentuk bagian tanah nan diteken oleh Arpani pada 2006, atas sepengetahuan Ketua RT 03, Ketua Adat Dayak Batulasung, dan Kepala Desa Cantung Kiri Hilir. Sebelum ditanami sawit oleh perusahaan, Arpani mengingat lahan ulayat itu sebagai tempat mencari rotan, berladang, berburu, mencari madu hutan, dan sarang walet di dalam goa hutan.
“Tanah tersebut berasal dari kewenangan ulayat adat, warisan dari kakek ke orang tua kami, dan hingga saat ini tetap kami kuasai terus menerus. Tanah tersebut digarap sejak tahun 1947, dan sampai saat ini tidak pernah diperjualbelikan,” demikian isi surat keterangan tanah milik Arpani bertarikh 18 November 2006, seperti dilihat Tempo.
Alhasil, Arpani terkejut ketika ada perusahaan tiba-tiba menanami sawit pada 2017 tanpa sosialisasi dan tukar rugi tanam tumbuh. "Tanah itu sudah dikuasai secara budaya dan belum ada tukar rugi. Saat itu belum tahu nama perusahaannya lantaran tidak ada sosialisasi," lanjut Arpani. Belakangan setelah tumbuh sawit, Arpani baru sadar nama perusahaan itu: PT Jhonlin Agro Raya.
Juru bicara dan Legal PT Jhonlin Agro Raya Tbk, Dedy Hari Suprianto, tidak menjawab gamblang atas upaya konfirmasi persoalan tersebut. Dedy menyarankan Tempo bertanya ke Kepolisian, Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kotabaru, dan pihak Kecamatan Kelumpang Hulu. “Info lebih jelas dan pasti,” tutur Dedy.
Pilhan editor: Jajaran Tim Ekonomi Jokowi Diangkut Prabowo dalam Pemerintahannya Mulai Sri Mulyani sampai Bahlil