TEMPO.CO, Jakarta - Center for Strategic and International Studies (CSIS) menilai Indonesia tetap punya sejumlah persoalan untuk mewujudkan perdagangan dan investasi berkelanjutan. Laporan terbaru CSIS menyebut komitmen pemerintah menuju ekonomi hijau tetap rendah. "Kelihatannya memang Indonesia tetap banyak sekali nan perlu di-follow up mengenai transisi ke ekonomi nan lebih hijau, salah satu persoalan tampak dalam bagian perdagangan dan investasi," kata Direktur CSIS, Yose Rizal Damuri, kepada Tempo, usai penyampaian laporan penelitian, Senin, 1 Juli 2024.
Yose mengatakan, perdagangan dan investasi berkepanjangan tidak dapat dipisahkan dari penggunaan daya bersih. Namun hingga saat ini, kata dia, kebijakan dan political will pemerintah menuju daya bersih belum menunjukkan upaya nan serius.
Lebih lanjut, Yose menilai ketidakseriusan tersebut terlihat dari izin nan tumpang tindih antara sasaran net zero emision dan upaya penggunaan daya bersih. "Sekarang ini kelihatannya tetap banyak sekali gap-gap yang kudu diperbaiki. Itu bukan hanya mencakup investasi dan perdagangan saja, tetapi juga regulasi-regulasinya nan perlu diperbaiki," kata Yose.
Menurut Yose, transformasi perdagangan dan investasi ramah lingkungan saling berangkaian dengan transformasi energi. Sehingga, kata dia, perlu juga political will nan lebih tinggi dan tidak sekadar semboyan di bumi internasional saja. "Kita mengharapkan bahwa ada kesungguhan pemerintah, ada kesungguhan dari upaya agar terus mendorong transisi tersebut," ujar Yose.
Salah satu upaya nan bisa dilakukan guna mendorong investasi dan perdangan berkelanjutan, kata Yose, ialah mengupayakan diversifikasi pihak nan berinvestasi di dalam negeri. Menurut temuan CSIS, saat ini lebih dari 50 persen investasi tanah air diisi penanammodal Cina.
Iklan
Keberagaman dalam investasi dinilai bisa mendorong upaya pemodalan nan lebih ramah lingkungan, terutama dalam sektor mineral kritis dan energi. "Dalam critical mineral, kita sangat tergantung sekali kepada Cina. Diversifikasi bakal membantu lebih jauh. Sehingga ada persaingan bagi mitra investasi dalam negeri untuk mewujudkan perdagangan nan berkelanjutan," katanya.
Yose menambahkan, dengan kuatnya pengaruh Cina dalam investasi di Indonesia, perihal tersebut berakibat pada lemahnya perhatian terhadap aspek lingkungan dan sosial. Indonesia dihadapkan pada posisi nan lemah dan tidak banyak pilihan lain. "Kita semestinya tidak memandang Cina itu sebagai sesuatu halangan alias suatu perihal nan negatif, tetapi nan perlu dilakukan adalah mendiversifikasi dan memperbaiki tata kelola investasi saat ini," katanya.
Pilihan editor: Jokowi Bakal Bentuk Tim Family Office, Target Kelola Dana hingga Rp 8 Ribu Triliun
NANDITO PUTRA