Digempur Sampah Impor

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Tumpukan sampah jejak minuman dan makanan berceceran di laman Rokayah (80) di Kecamatan Kragilan, Banten.

Sampah-sampah itu tampak asing lantaran bungkusan produknya tak pernah terlihat di pasar alias minimarket di Indonesia. 'Made in Maine'. 'Made in Southampton, NY', 'Columbia ST. Bethlehem', 'Pleasanton, CA." tertulis dalam bungkusan makanan dan minuman itu.

Rokayah adalah pengepul sampah senior di sana.

Dia mulai jadi pemulung sejak 1990-an berbareng suaminya, tak lama setelah berdirinya satu perusahaan kertas nan berjarak kurang lebih satu kilometer dari rumahnya.

Perusahaan ini lah nan membawa sampah-sampah impor. Dari negara di Asia, Amerika, hingga Eropa, semuanya ada. Dari plastik hingga besi. Ditumpuk pada suatu tempat pembuangan sampah terbuka (open dumpsite) dekat rumah Rokayah.

Untungnya, sampah itu baunya tidak menyengat. Bahkan condong lebih bersih, dan tampak sudah dicuci.

Katanya, sampah itu 'terbawa' berbareng dengan material untuk membikin kertas nan diimpor perusahaan. Kemudian, sampah ini ditumpuk begitu saja di lahan milik perusahaan, persis di belakang rumah Rokayah.

Karena memandang tumpukan sampah itu, Rokayah dan suaminya coba-coba mencari peruntungan, meski dengan pengetahuan nan kala itu tetap nol soal limbah. Mereka pun sembarang memungut sampah impor nan ada.

Kala itu, sampah nan banyak ‘terbawa’ adalah jenis besi dan kawat. Satu per satu mereka pungut untuk dijual kembali. Jika beruntung, mereka bisa dapat 'dolar' nan terselip di antara sampah. Lalu, mereka tukar ke dalam rupiah.

Dari menjual sampah ini, Rokayah bisa meraup Rp50 juta dalam sebulan.

Banyak orang nan tergiur dengan keberhasilan Rokayah. Warga Kragilan pun beramai-ramai meminta pengetahuan 'mulung' padanya. Sebagian lagi, diam-diam mengawasi dan meniru.

Pada 2014, tren ‘mulung’ semakin menggila di wilayahnya. Rokayah si ratu limbah jadi punya banyak saingan. Dari semula kelimpahan limbah, sekarang dia kudu rela bayar Rp2,5 juta sebulan untuk mengamankan sampah.

“Sebelum saya ngolah sampah ini, tidak ada penduduk lain nan ikut. Sekarang pada ikut semua lantaran tahu dapat duitnya lumayan,” kata Rokayah.

Kini, tumpukan di open dumpsite itu semakin menjulang tinggi. Lebih tinggi dari rumah Rokayah.

Sampah itu terbentang di lahan dengan luasan lebih dari delapan hektare, dua kali lebih luas dari gedung Masjid Istiqlal di Jakarta nan bisa menampung 120 ribu orang.

Bedanya, jika dulu lebih banyak besi, saat ini justru lebih banyak sampah plastik.

Memang penghasilan dari hasil mulung plastik lebih rendah dibanding dengan saat dia berburu besi dan kawat. Namun, tetap penghasilan Rokayah per bulan bisa lebih besar dibanding tenaga kerja startup di SCBD.

Rokayah tak mengeluhkan tumpukan sampah nan saban hari bertambah tinggi itu. Dia juga tak pernah masalah dengan serakan sampah di laman rumahnya. Sebab, sampah-sampah itu menopang hidup Rokayah sepanjang 20 tahunan lebih.

Namun di sisi lain ancaman kesehatan bagi dia, keluarganya, dan masyarakat di Kragilan mulai mengincar.

Sampah plastik bisa membiayai hidup Rokayah dan ratusan penduduk lainnya selama bertahun-tahun. Tapi, sampah plastik ini juga nan membikin air di Kragilan tak bisa dikonsumsi hingga kulit penduduk gatal-gatal.

Salah satu nan merasakan akibat dari sampah plastik ini adalah Rohmat, seorang pemuda nan namanya minta disamarkan.

Rohmat menyadari musabab gatal-gatalnya itu bisa jadi lantaran banyak faktor. Tapi, dia percaya salah satunya lantaran sampah-sampah plastik, baik nan 'terbawa' oleh perusahaan kertas, alias juga nan dibuang sembarangan oleh warga.

Pasalnya, tumpukan sampah plastik di Kragilan dekat dengan sungai. Jaraknya kurang lebih 60 meter.

Tahun 1990-an Rohmat tetap bisa menggunakan air sungai itu untuk minum.

"Diminum langsung," kata Rohmat. "Kalau sekarang cuman bisa dipakai untuk nyuci."

Pada 11 Maret 2024, saya melangkah menyusuri sekitaran sungai di Kragilan. Ada dua wanita nan tengah mencuci baju di sana.

Sambil mengobrol, keduanya menyikat masing-masing baju nan mereka pegang. Lalu mereka celupkan ke air sungai nan keruh itu. Begitu terus berulang mereka lakukan.

Untuk minum, penduduk Kragilan sekarang sudah mengandalkan air galonan. Namun untuk mandi, mereka mengandalkan air sumur.

Rohmat menyebut ada kondisi nan lebih parah, ialah di Desa Tegal Maja. Desa itu berdampingan dengan Desa Kragilan.

Limbah nan 'terbawa' oleh perusahaan kertas itu rupanya tercecer hingga desa tersebut, dan membikin air di sana lebih kotor.

"Kalau ke utara sana itu, jika udah hujan sungainya itu ya udah seperti oli. Nggak bisa dipakai. Dampaknya juga sampai ke empang-empangnya kawan saya," ujar dia.

Rohmat memang tak menutup mata jika sampah impor membawa rezeki. Tetapi dia juga tak mau menyangkal, jika limbah itu juga menakut-nakuti kehidupan.

Menurutnya, penduduk di Kragilan dan sekitarnya hanya tak punya pilihan saja. Mencari kerja semakin sulit, tanah garapan juga menyempit.

Jika ada pilihan lain selain itu, dia meyakini penduduk pun mau mencoba.

CNNIndonesia.com telah menghubungi perusahaan kertas PT IK untuk meminta keterangan mengenai tumpukan sampah nan mereka bawa dari luar Indonesia. Namun, belum mendapat respons hingga tulisan ini tayang.

Open dumpsite sampah impor tidak hanya ditemui di Kragilan.

Pada 13 Maret 2024, saya juga mendatangi dumpsite sampah impor di area Gunung Putri, Bogor. Open dumpsite itu juga berdekatan dengan perusahaan nan memproduksi kertas dan tissue.

Tumpukan sampah di area Gunung Putri ini tidak sebanyak di Kragilan. Namun tersebar di tiga titik.

Titik pertama, sampah menumpuk di lahan seluas kurang lebih 2.551 meter persegi. Titik kedua, menumpuk di lahan seluas satu hektare, dan titik ketiga 4,4 hektare.

Pada dasarnya, metode pengelolaan sampah dengan open dumping ini tidak diperbolehkan di Indonesia.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 tahun 2008 tentang sampah, pemerintah memberikan toleransi 2 tahun untuk transisi pengelolaan sampah dari open dumping menjadi sanitary landfill agar sesuai SOP.

Saat saya ke sana, sampah-sampah itu tercampur dengan becek jejak hujan. Gumpalan tanah nan basah juga banyak nan menempel pada bungkusan jejak makanan nan diproduksi oleh negara-negara luar.

Saya mengambil beberapa bungkusan jejak makanan, salah satunya tutup es krim produksi Pleasanton, California. Es krim itu pemisah kedaluwarsanya sampai 4 Juli 2024. Berdasarkan hasil riset, masa kedaluwarsa es krim dua sampai tiga tahun sejak diproduksi.

Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) juga menemukan kejadian serupa di beberapa wilayah di Indonesia.

Di Sidoarjo, Jawa Timur misalnya, ada dua desa nan menjadi dumpsite utama sampah impor. Kedua desa itu ialah Gedangrowo dan desa Wirobiting. Keduanya, disuplai oleh perusahaan kertas dari area Ngoro Mojokerto.

Berdasarkan penelusuran mereka, impor sampah kertas memang kerap disusupi oleh kontaminan sampah, khususnya sampah plastik.

Divisi Legal dan Advokasi Ecoton, Muhammad Cholid Basyaiban dalam laporan 'Problem Sampah impor Jawa Timur Tahun 2023' mengungkapkan Indonesia mempunyai 55 industri kertas.

Dari puluhan industri itu, 80 persennya mengimpor bahan baku dari luar negeri.

Menurut info Ecoton, dalam satu kontainer bahan baku kertas impor, kontaminasi plastik dan bahan B3 bisa mencapai 40 persen.

Saya meminta penjelasan dari Ketua Asosiasi Pulp & Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida atas kejadian tersebut.

Liana menyebut perusahaan kertas di Indonesia memerlukan beberapa material penolong seperti serat panjang dan daur ulang untuk memproduksi kertas.

Bahan-bahan itu bisa didapat dengan impor dari negara-negara lain.

"Ketersediaannya gak ada (di Indonesia), lantaran serat panjang hanya tumbuh di negara empat musim. Sementara kertas daur ulang itu kesiapan di dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan pulp kertas," kata Liana.

Dia menyebut kertas daur ulang nan dibutuhkan sekitar 7 juta ton pertahun. Dari jumlah itu, Indonesia kudu mengimpor 3,2 sampai 3,5 juta ton.

Kertas nan diimpor itu merupakan kertas daur ulang, bukan kertas hasil produksi. Kertasnya berbeda-beda tergantung seleksi dan koleksi. Kebanyakan bahan baku itu diimpor dari Eropa, Amerika dan Australia.

Oleh karena itu, kata dia, pasti tetap ada impuritas alias atom maupun perihal lain nan menyertai pada material (sampah/limbah).

Pemerintah Indonesia telah membikin ketentuan impuritas pada impor limbah Non-bahan Berbahaya dan Beracun (B3) untuk golongan kertas dan plastik sebesar 2 persen.

Sementara itu, untuk golongan logam berupa skrap besi alias baja ditetapkan secara kasatmata dalam jumlah sedikit dan tidak menetes.

Hal ini juga diatur dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelaksanaan Impor Limbah Non-B3 sebagai Bahan Baku Industri ditetapkan oleh Menteri Perdagangan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perindustrian, dan Kepala Kepolisian pada 27 Mei 2020.

Liana mengatakan peralatan nan diimpor oleh perusahaan kertas semestinya sudah diperiksa di pelabuhan.

Menurutnya, jika tetap ada impuritas nan terbawa lebih dari 2 persen, maka ada kelalaian dalam pengecekan.

"Bisa kebawa logam apalagi ada B3 semacam baterai, kondom bekas, sampai setrika. Kenapa bisa masuk alias lolos itu lantaran kontrol di luar sana kurang bagus," ujarnya.

Liana juga mengakui bahwa impuritas nan paling banyak terbawa oleh perusahaan kertas adalah sampah plastik. Namun, kata dia, perusahaan kertas sudah mempunyai beberapa penemuan untuk mengatasi persoalan itu.

Pertama, perusahaan melakukan seleksi terhadap sampah plastik itu untuk dipirolisis, alias dekomposisi termokimia bahan organik melalui proses pemanasan tanpa alias sedikit oksigen (pereaksi kimia). Kedua, lelehan sampah plastik bisa digunakan sebagai pengganti semen.

Namun, Liana juga mengakui ada perusahaan kertas nan nakal. Mereka membuang impuritas itu di lahan terbuka (open dumping).

Biasanya, banyak masyarakat nan memanfaatkan limbah itu secara cuma-cuma untuk dipilih dan dijual kembali. Ada pula masyarakat nan kudu bayar kepada perusahaan untuk mendapat limbah.

Kondisi itu nan menurut Liana membikin permainan sampah impor susah diputuskan.

"Jadi ada supply and demand nan gak bisa diputus begitu saja, lantaran perusahaan tidak bisa memutus relasi dengan masyarakat sekitar. Maka dari itu dibutuhkan kombinasi tangan pemerintah daerah," ujarnya.

"Pemda tidak boleh membiarkan masyarakat mengambil limbah B3, plastik alias apapun itu. Memang dari segi ekonomi itu menguntungkan untuk diolah tapi di situlah pembinaan nan kudu dilakukan. Bahwa di situ ada logam dan uap nan beracun," imbuhnya.

Penjajahan
The Global North

Ketua Ecoton Prigi Arisandi menilai tindakan perusahaan nan berkilah tak sengaja membawa limbah dalam peralatan impornya tidak bisa ditoleransi.

Berdasarkan catatan Ecoton, limbah nan masuk ke Indonesia mencapai 5 juta ton pada 2022. Indonesia apalagi menjadi negara dengan penerima sampah impor terbanyak ke-3 di bumi berasas info UN Comtrade.

"Harus ada keterbukaan informasi, apa betul tidak ada impuritas di atas 2 persen? Kalau sekarang kan tidak ada penanganan serius," kata Prigi.

Terlebih, Prigi tidak memandang ada upaya serius dari perusahaan-perusahaan nan membawa sampah impor ke Indonesia.

"Banyak industri kucing-kucingan, mulai mengeluarkan, bakar langsung dengan batubara, tapi di banyak pabrik juga menggunung. Ini sampah impor. Harus ada pembatasan, alias stop sampah impor kertas dan plastik," ujarnya.

Lebih jauh lagi, persoalan ini sebenarnya tidak bisa diselesaikan oleh perusahaan (industri) dan pemerintah Indonesia, melainkan juga negara-negara pengekspor sampah.

Pada 2022, negara nan paling banyak membuang sampah ke Indonesia adalah Australia, Amerika, Belanda, Inggris dan Italia.

Bukan peralatan baru, negara-negara global north itu memang terkenal sering membuang sampah ke negara-negara di Asia, terutama negara berkembang (global south). Bukan hanya ke Indonesia melainkan juga Thailand dan Filipina.

Dalam periode Januari hingga April 2023, Thailand menerima sampah impor nyaris 66 juta metrik ton sampah plastik, scrap, dan peralatan bekas. Sementara Filipina menerima impor sampah sekitar 11.800 ton pada 2018

Peneliti dan environmentalist dari Ontario Tech University, Peter Stoett dalam kitab ‘Plastic Waste Trade’ menyebut kejadian ini sebagai kolonialisme sampah (waste colonialism), nan merupakan corak dari kolonialisme style baru (neocolonialism).

Pembuangan limbah ini dilakukan lintas pemisah secara sengaja.

Padahal, sedikitnya 170 negara telah meratifikasi Konvensi Basel nan berisi larangan memindahkan limbah, terutama limbah B3 dari negara maju ke negara berkembang.

Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Basel melalui Keppres 61 Tahun 1993 dan Perpres 47 Tahun 2005. Begitu pun dengan Amerika Serikat dan Australia.

Ecoton memandang negara-negara maju tetap beranggapan membuang sampah ke negara-negara berkembang adalah satu solusi tepat. Sebab, mengelola sampah dan menyediakan lahan untuk membuang sampah di negara mereka sendiri butuh biaya nan tinggi.

Di sisi lain, penerapan izin serta standar kesehatan di negara-negara berkembang mengenai larangan impor sampah juga tetap lemah.

“Sehingga tidak susah untuk membangun tempat pembuangan limbah di sekitar pemukiman penduduk, dan masyarakat di wilayah tersebut umumnya juga tidak menolak lantaran mereka umumnya tidak terlalu memahami ancaman dari limbah nan menumpuk di sekitar tempat tinggal mereka,” kata Ecoton dalam laporannya.

Ecoton mengungkapkan negara maju nan mengekspor sampah itu apalagi bakal mendapatkan untung atas limbah nan dibeli sebagai bahan baku oleh importir dari negara berkembang.

Ecoton menyampaikan izin internasional tentang pengaturan ekspor-impor limbah lintas pemisah justru menciptakan celah nan mengizinkan limbah dikirim secara legal dengan dalih recycling.

Hal ini juga tercantum kajian nan dilakukan oleh Profesor di Fakultas Lingkungan Hidup University of Waterloo, Jennifer Clapp tentang impor limbah, pada 2002.

Penjajahan sampah nan dilakukan oleh negara adikuasa terhadap negara berkembang seperti Indonesia ini turut disoroti oleh Aktivis Lingkungan Aeshnina Azzahra. Menurutnya, kolonialisme sampah ini kontradiktif.

Aktivis lingkungan nan tetap berumur 17 tahun ini memandang semestinya negara-negara itu membantu pengolahan sampah di negara-negara berkembang.

Amerika, negara-negara Eropa dan Jepang misalnya, semestinya tidak bisa lepas tangan alias apalagi cuci tangan atas limbah nan mereka hasilkan.

Nina cemas kolonialisme sampah ini dianggap biasa saja dan negara nan mengimpor sampah ke Indonesia hingga saat ini tak mendapat hukuman tegas.

Sebaliknya, negara-negara itu justru lebih dikenal sebagai negara nan lebih ‘bersih’.

“Padahal kan nan diajarin di sekolah, pengolahan sampah di Jerman keren, kudu dicontoh. Pengolahan sampah di Jepang keren, pemilahan jadi 12 jenis. Tapi akhirnya dibuang ke negara miskin. Dibuang ke negara kita nan nggak tau apa apa,” kata wanita nan berkawan dipanggil Nina itu, saat saya temui.

“Bingung juga, mau ngasih tau ke temen temen juga mereka nggak percaya. Soalnya kan negara kaya Amerika kan jadi role model kita, nan kita contoh, negara kaya, negara maju. Kok bisa membuang ke negara berkembang, harusnya kan malah dibantu. Dijadikan tempat sampah negara kita,” katanya lagi.

“Banyak industri kucing-kucingan, mulai mengeluarkan, bakar langsung dengan batubara, tapi di banyak pabrik juga menggunung. Ini sampah impor. Harus ada pembatasan, alias stop sampah impor kertas dan plastik.”

Ketua Ecoton Prigi Arisandi

Prigi menilai tak ada tawar menawar mengenai sampah impor. Menurutnya, sampah impor absolut kudu dihentikan.

Dia memahami jika penindakan sampah impor ditegakkan secara langsung bakal berakibat pada sosial ekonomi. Terutama, penduduk nan sudah kadung berjuntai nasib pada industri limbah ini.

Namun, jalan pengganti selalu ada. Prigi mengatakan pemerintah bisa memodali dan memfasilitasi upaya nan lebih sehat serta berkelanjutan.

Salah satu contoh di Desa Bangun, Mojokerto. Pemerintah setempat memberikan insentif kepada penduduk untuk praktik ramah lingkungan. Pemerintah setempat juga bekerja sama dengan sejumlah pihak untuk membangkitkan ekonomi lain sebagai gantinya.

“Kita punya contoh bagus di Desa Bangun. Di desa itu ribuan orang nan bergantung, lantaran di situ kan petani plastik. Ya memang mereka menganggap lebih lezat plastik kan, daripada padi. Pagi dijemur, siang dapat uang,” kata Prigi.

“Sekarang mereka sudah berubah. Pemerintah memberi insentif, jadi ada budidaya ikan, kembali bertani, dan banyak lagi insentif dari pemerintah. Bisa, tapi kudu ada kombinasi tangan dari pemerintah,” imbuhnya.

Terlebih, Prigi menyebut orang-orang nan paling banyak diuntungkan dari perlimbahan ini adalah nan di tataran paling atas.

“Jadi ya jangan takut. Sebenarnya ini kan nan untung mafia-mafianya, dan masyarakat enggak besar keuntungannya,” ujarnya.

Dirjen Pengelolaan Sampah dan Limbah B3 (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati mengakui celah masuk limbah B3 adalah melalui impor limbah non B3 nan legal.

Namun, sejak 2019 dia menyatakan pemerintah telah melakukan pembatasan nan lebih ketat mengenai limbah B3, termasuk plastik nan masuk ke Indonesia.

Salah satunya ditandai dengan dikeluarkannya SKB tiga menteri tentang Pelaksanaan Impor Limbah Non-B3 sebagai Bahan Baku Industri Tahun 2020.

“Peristiwa 2019 ketika bahan baku nan memang berasal dari sampah nan sudah terpilah itu dimasuki oleh sampah nan lain menjadi pelajaran besar buat Indonesia,” kata Vivien.

Vivien menjelaskan pabrik nan membawa sampah kudu dikelola oleh perusahaan, tidak boleh dijual lagi.

"Ketika kita bicara impuritas, sementara di dalamnya tetap ada tingkat pengotor sebesar 2 persen, sebenarnya itu tanggung jawab industri impor untuk menghancurkannya. Mereka kudu memusnahkan itu, alias diberikan ke pihak ketiga nan punya incinerator berizin," ujarnya.

Vivien mengatakan Indonesia sebagai pihak nan ratifikasi Basel Convention itu turut komunikasi dengan negara lain untuk persoalan impor sampah.

“Tiap dua tahun sekali kita adakan pertemuan. Sekarang kita bicarakan plastik nan ada bahan kimia. Kalau mereka punya importir nan tidak kita terima, kita bakal komunikasi di situ,” katanya.

“Yang pertama itu business to business kita lakukan re-ekspor. Dan sekarang kita sedang melakukan negosiasi untuk plastic pollution, kita menuju legally binding untuk konvensi tersendiri. Kita sadari ini kan global common problem,” ujarnya lagi.

Vivien menyatakan saat ini pemerintah Indonesia sedang menyusun peta jalan agar Indonesia terbebas dari sampah. Pemerintah Indonesia menargetkan pengurangan sampah 25 persen dan penanganan sampah hingga 70 persen pada 2025.

KLHK juga mengupayakan tidak bakal ada lagi pembukaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) baru hingga 2030.

“Kami sedang menyusun road map untuk memenuhi bahan baku. Kita usahakan 2030 kita independen untuk tidak melakukan impor scrap kertas dan scrap plastik. Kita juga punya program zero waste, zero emission. Kita bikin roadmap untuk mengurangi TPA ini,” kata Vivien.

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional