TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan, swasembada pangan nan ditargetkan pemerintahan Prabowo Subianto pada 2027 tetap belum jelas. “Sampai sekarang belum ada penjelasan perincian dari pemerintah,” ujar penulis kitab Bulog dan Politik Perberasan ini saat dihubungi Tempo, Selasa, 24 Desember 2024.
Khudori menjelaskan, merujuk Pasal 1 Undang-Undang Pangan, pengertian pangan sangat luas. Pangan mencakup segala sesuatu nan berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air. “Kalau merujuk arti pangan di Undang-Undang Pangan, sangat tidak mungkin kita bakal bisa swasembada. nan pasti bakal parsial,” ujarnya.
Baca buletin dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Joko Widodo, kata Khudori, pemerintah juga menargetkan swasembada pangan. Namun swasembada pangan itu diterjemahkan menjadi swasembada komoditas. Di era Jokowi, swasembada komoditas nan dimaksud ada enam, ialah padi, jagung, kedelai, bawang putuh, gula, dan daging sapi.
Dari langkah-langkah nan diambil pemerintah, Khudori membaca swasembada pangan nan dimaksud pemerintahan Prabowo juga mengarah kepada swasembada komoditas. Ia mencontohkan soal Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan nan menargetkan tahun depan pemerintah menyetop impor beras, gula konsumsi, garam konsumsi, dan jagung pakan.
Namun sampai hari ini, kata Khudori, belum ada penjelasan dari pemerintah ihwal komoditas apa saja nan bakal dibidik mencapai swasembada pada 2027. Kementerian Koperasi sempat menambahkan susu termasuk kompditas nan kudu mencapai swasembada. Tapi blueprint swasembada susu belum pernah terungkap di publik. Di kesempatan lain, Zulkifli Hasan juga mengatakan bahwa swasembada pangan mencakup kakao dan kopi.
Untuk swasembada beras, Khudori mengungkap ada swasembada absolut nan memprasyaratkan seluruh kebutuhan konsumsi berasal dari produksi domestik. Ada pula swasembada nan cukup 90 persen dari kebutuhan konsumsi dipenuhi oleh produksi domestik. “Kalau menggunakan arti 90 persen kebutuhan konsumsi dipenuhi dari produksi domestik, sebenarnya kita sudah bertahun-tahun swasembada beras," ujar lulusan Fakultas Pertanian Universitas Jember ini.
Khudori menambahkan, ada pula swasembada beras on trend alias sekali-sekali. Artinya, kebutuhan beras dalam periode tertentu dipenuhi sepenuhnya dari produksi domestik. Tapi ada penggalan waktu nan juga dipenuhi oleh impor. Swasembada ini, kata dia, nan dicapai pemerintahan Orde Baru pada 1984.
Peneliti nan juga pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian ini menilai swasembada pangan nan dicetuskan Prabowo lebih merupakan semangat memenuhi kebutuhan dari produksi domestik.