TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia (BI) bakal memborong surat berbobot negara (SBN) sekitar Rp150 triliun tahun depan. Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan rencana tersebut sudah menjadi kesepakatan antara dirinya dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Pada pengumuman hasil rapat majelis gubernur 18 Desember 2024 lalu, Perry memaparkan bahwa langkah ini merupakan salah satu operasi moneter bank sentral. Tujuannya adalah menstabilkan mata duit rupiah, terlebih setelah mata duit Indonesia ambruk menembus Rp16 ribu per dolar Amerika Serikat pada Desember 2024.
Baca buletin dengan sedikit iklan, klik di sini
Perry membeberkan bahwa persamuhan dengan bendaharawan negara telah menghasilkan kesepakatan. Kementerian Keuangan bakal menerbitkan SBN pada 2025, sedangkan Bank Indonesia bakal menjalankan rencana operasi moneter dengan membeli SBN di pasar sekunder.
Rencana ekspansi diambil setelah BI memandang beragam perkembangan duit primer, kebutuhan likuiditas dan lain sebagainya. Jumlahnya apalagi tidak hanya Rp100 triliun bisa menembus Rp150 triliun. “Bahkan kemungkinan bisa lebih tinggi, kelak bakal kami bicarakan,” kata Perry.
Ekonom Bright Institute Muhammad Andri Perdana mengatakan rencana ini merupakan kebijakan moneter quantitative easing alias menambah duit beredar. Menurut dia ada beberapa akibat nan bakal terjadi imbas keputusan nan diambil bank sentral ini. Di antaranya adalah meningkatnya inflasi serta akibat kredibilitas dan independensi BI.
Keputusan BI kali ini menurut Andri mirip dengan burden sharing nan dilakukan Bank Indonesia pada era pandemi covid-19 lalu. Hanya saja bedanya, kali ini bank sentral membeli SBN di pasar sekunder, sedangkan burden sharing BI membeli dari pasar primer. Secara sederhana nan dilakukan BI adalah menginjeksi likuiditas langsung alias secara harafiah, mencetak uang.
“Keduanya pada dasarnya mempunyai akibat nan berbahaya, lantaran sama-sama menginjeksi likuiditas langsung dari bank sentral dan bukan dari perekonomian,” kata Andri kepada Tempo, Kamis, 26 Desember 2024.
Dalam burden sharing, nan mendapat rupiah segar secara langsung adalah pemerintah. Sedangkan dalam operasi ini nan mendapatkan rupiah baru adalah sektor swasta. Bank sentral memang mempunyai kewenangan untuk menarik kembali rupiah nan beredar saat SBN jatuh tempo, namun perihal ini bisa berisiko bagi kredibilitas dan independensi BI.
Likuiditas nan langsung diinjeksi oleh BI kepada pemegang SBN saat ini juga bakal susah dikontrol dampaknya terhadap perekonomian. Bebannya akhirnya ditanggung masyarakat. Karena BI dan pemerintah lebih mengesampingkan akibat inflasi dibandingkan nilai tukar.
Menurut pandangan Andri, pilihan ini diambil lantaran ada rencana menarik utang baru dalam jumlah besar tahun depan. Berdasarkan anggaran pendapatan dan shopping negara (APBN) 2025 utang pemerintah nan bakal ditarik sebesar Rp775,87 triliun. “Sehingga menjadi imperatif bagi pemerintah untuk menjaga yield (imbal hasil) SBN agar tidak semakin naik lantaran beban bunganya bakal bertambah lebih berat ke depan,” ujarnya.
Beban kembang utang saat ini sudah cukup besar, tahun ini saja pemerintah bakal menghabiskan sekitar 19,50 persen dari seluruh shopping negara. Bunga utang nan kudu dibayar pemerintah tahun depan sebesar Rp552,85 triliun. Terdiri dari kembang utang dalam negeri Rp479,6 triliun dan kembang utang luar negeri Rp55,2 triliun.
Ini menurut dia menjadi penyebab BI mengambil kebijakan operasi moneter tersebut. “Karena jika yield SBN semakin tinggi dan nilai tukar rupiah semakin melemah, maka bisa diperkirakan pengelolaan finansial pemerintahan Prabowo bakal jauh lebih ngos-ngosan lagi,” ujarnya.