Ekonom: Kondisi Finansial BPJS Kesehatan Sudah Dikhawatirkan Banyak Orang Sejak 2018

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengatakan Indonesia tergolong negara paling berani menerapkan universal health coverage dalam jasa BPJS Kesehatan. Dari segi pelayanan bagi masyarakat, kata dia, jasa ini jadi terobosan bagus namun dari sisi finansial membawa tantangan tersendiri.

“Tanpa langkah drastis dan strategis, BPJS Kesehatan melangkah menuju kebangkrutan dan sebenarnya ini sudah dikhawatirkan oleh banyak pihak sejak 2018-an,” kata Wijayanto kepada Tempo, Jumat, 15 November 2024.

Seperti diketahui, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memperkirakan ada defisit sekitar Rp 20 triliun nan dialami oleh perusahaan. Ghufron mengakui ada kemungkinan kandas bayar akan  dialami oleh BPJS Kesehatan di tahun 2026. 

Mengenai kondisi tersebut, Wijayanto mengatakan BPJS Kesehatan jadi program nan sangat diandalkan masyarkaat. Kualitas jasa nan efektif dan efisien, kata dia, ditambah smasyarakat nan semakin teredukasi bakal haknya, membikin mereka antusias memanfaatkan BPJS Kesehatan.

Menurutnya, dulu surplus BPJS Kesehatan didorong peserta korporasi dan penerima support iuran (PBI). Peserta korporasi, kata dia, rutin iuran namun jarang memanfaatkan lantaran memilih asuransi swasta. Sementara peserta PBI, biaya iuran ditanggung pemerintah namun, menurutnya, jarang memanfaatkan lantaran tidak memahami kewenangan nan bisa digunakan dan kesulitan akses.

“Peserta Mandiri sudah menjadi sumber defisit (sejak dahulu), lantaran banyak moral hazard,” ujar Wijayanto.

Lebih lanjut, kata dia, saat ini peserta PBI makin mengerti haknya dan akses makin mudah, sehingga justru condong mengeksploitasi akomodasi nan menjadi sumber defisit. Sehingga, kata dia perlu ada langkah strategis untuk memperbaiki keahlian finansial BPJS Kesehatan.

Wijayanto juga menilai kenaikan iuran bisa membantu mengurangi defisit. Namun, menurutnya perlu disepakati oleh semua pihak. Sehingga, kata dia, semua peserta dari beragam kelas bisa mengantisipasi dan tidak ada kejutan-kejutan nan menyulitkan. “Kenaikan BPJS, paling tidak kudu bisa meng-cover inflasi,” kata dia.

Wijayanto mengatakan, kondisi nan dialami BPJS Kesehatan memerlukan beragam pengganti solusi. Selain opsi kenaikan iuran, nan memang telah diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) tentang Jaminan Kesehatan, dia menyetujui opsi cost sharing hingga tarif degresif mengurangi defisit. Namun, semuanya perlu dikaji dengan kehati-hatian.

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis