TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan pemerintah Presiden Prabowo perlu menahan laju penurunan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri. Khususnya setelah ada kasus PT Sri Rejeki Isman Tbk. alias Sritex nan dinyatakan pailit lewat putusan Pengadilan Niaga Kota Semarang.
Huda menganggap perihal ini sebagai gambaran industri tekstil dalam negeri. Selain Sritex, Huda memaparkan perusahaan sektor TPT lainnya juga sudah banyak nan melakukan pemutusan hubungan kerja alias PHK. Tidak sedikit pula nan gulung tikar. “Artinya, kondisi ini sudah parah dan pemerintah nampaknya kehabisan buahpikiran untuk memberikan stimulus ke industri ini,” kata dia saat dihubungi Rabu, 30 Oktober 2024.
Padahal sumbangsih perusahaan TPT ke industri nasional cukup besar. Ia memaparkan porsi industri TPT terhadap PDB bisa mencapai 5,8 persen. Dalam perihal penyerapan tenaga kerja pun cukup besar dengan pedoman pekerja paling banyak di Jawa Tengah. Jumlah pekerja di sektor TPT lebih dari 3,5 juta tenaga kerja.
Ia merekomendasikan Prabowo mengatur kembali patokan impor untuk memberikan insentif bagi industri tekstil lokal. “Bea masuk untuk produk TPT kudu dievaluasi jangan sampai menimbulkan gejolak lebih panjang,” ujarnya.
Tekanan produk impor dianggap menjadi salah satu penyebab penurunan sektor ini. Terutama setelah Kementerian Perdagangan mengeluarkan patokan nan memperlonggar patokan dan syarat impor dalam peraturan menteri perdagangan alias Permendag nomor 8 tahun 2024 tentang kebijakan impor. Terlebih permintaan dari dalam negeri ikut melambat dan masyarakat lebih memilih produk impor lantaran harganya nan lebih murah.
Iklan
Dari sisi eksternal, Huda Mengatakan Industri tekstil mempunyai tekanan nan cukup kuat dalam beberapa tahun terakhir. Kondisi permintaan dunia seperti Amerika Serikat dan China mengalami penurunan nan pada akhirnya membikin permintaan industri melambat. Permintaan China melambat nan menimbulkan oversupply di domestik China. “Jadi tekanan dari dalam negeri ada, dari luar negeri juga kuat. Maka industri TPT tumbang,” ujarnya.
Sritex pailit setelah digugat di Pengadilan Niaga Semarang. Perusahaan dianggap lalai dalam memenuhi tanggungjawab pembayaran utang. Keputusan ini disahkan usai mengabulkan permohonan salah satu kreditur Sritex nan meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan tanggungjawab pembayaran utang (PKPU) sesuai kesepakatan sebelumnya. Hal tersebut dibenarkan oleh Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang, Haruno Patriadi, pada Rabu, 23 Oktober 2024. Haruno menjelaskan, putusan dalam persidangan nan dipimpin Hakim Ketua, Muhammad Anshar Majid, tersebut mengabulkan permohonan PT Indo Bharat Rayon sebagai debitur PT Sritex.
Hammam Izzudin berkontribusi dalam penulisan tulisan ini.
Pilihan editor: Komisi XI DPR bakal Panggil BI dan OJK soal Rencana Prabowo Pemutihan Utang