Jakarta, CNN Indonesia --
Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (RBT) sejak tahun 2018 Suparta mengaku menyesal telah melakukan kerja sama dengan PT Timah Tbk. Ia mengatakan dari awal sebetulnya tak terlalu berminat, lantaran bisnisnya sudah mapan.
Hal itu disampaikan Suparta dalam agenda pembacaan nota pembelaan alias pleidoi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (18/12).
"Pada saat saya mendengar imbauan support untuk kerja sama PT Timah, perihal pertama nan saya rasakan adalah sebenarnya saya malas nan Mulia untuk membantu lantaran saya sudah cukup nyaman dengan upaya timah nan saya jalani. Bisnis saya sudah tenteram dan sudah tidak ada lagi ambisi," ujar Suparta di muka persidangan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suparta mengaku sempat mendengar cerita dari rekan-rekannya perihal kerja sama dengan perusahaan BUMN. Namun, dia terpaksa melakukan kerja sama lantaran selalu digaungkan semboyan untuk memihak negara demi martabat Indonesia.
"Siapa sih penduduk negara nan tidak mau memihak negaranya? Pada saat itulah saya tergerak oleh kata-kata nasionalisme. Maka, saya pikir, oke bakal saya bantu semampu saya," ucap Suparta.
"Padahal, saya sudah sering mendengar cerita dari teman, jika berurusan dengan perusahaan BUMN nan terkenal adalah masalah pembayaran nan selalu telat dan hanya mau dengan aturannya sendiri, tidak memikirkan orang lain," sambungnya.
Kata Suparta, keluhan tersebut terbukti. Ia menuturkan banyak pembayaran-pembayaran telat nan mengakibatkan pelunasan utang di bank menjadi mundur namalain tidak sesuai rencana.
"Keuntungan ekspor saya dari produksi kami sendiri ikut tergerus, apalagi sampai saat ini kami tetap ada pinjaman di bank. nan mana aset, pabrik dan persediaan stok sebagai jaminannya. Kemudian nan paling apes bagi saya adalah saya sampai kudu di sini menjadi terdakwa di hadapan nan Mulia majelis hakim," ucap dia.
Minta abaikan kerugian negara
Dalam pleidoinya, Suparta meminta majelis pengadil mengabaikan dakwaan kerugian finansial negara sejumlah Rp300,003 triliun. Ia menilai mahir nan dipakai Kejaksaan Agung untuk menghitung kerugian finansial negara ialah Bambang Hero (ahli lingkungan IPB) sangat keji.
Menurutnya, penghitungan kerugian akibat kerusakan lingkungan senilai Rp271 triliun merupakan tuduhan nan naif dan gegabah. Ia mengatakan tidak mungkin mungkin dalam kurun waktu 18 bulan terjadi daya rusak begitu besar.
"Saksi kerabat Bambang Hero juga menyatakan bahwa ada seluas 170 ribu hektare bukaan tambang nan berada di wilayah IUP PT Timah. Jika dihitung selama masa kerja sama smelter 2 tahun, maka area nan kudu dibuka dan ditambang setiap harinya adalah 7 ribu hektare. Bahkan, jika dihitung selama masa periode perkara 2015-2022 alias 7 tahun, maka area nan kudu dibuka dan ditambang setiap hari adalah 68 hektare per hari," katanya.
Suparta menyatakan perihal tersebut sangat tidak mungkin untuk dilakukan. Apalagi, perjanjian kerja sama nan ada hanya mengenai sewa-menyewa peralatan pengolahan untuk penglogaman timah, bukan perjanjian penambangan.
"Yang Mulia majelis pengadil nan saya hormati, kerabat Bambang Hero dengan mudah menyebut nomor kerugian nan hanya berasas pikirannya sendiri apalagi di dalam persidangan dengan mudahnya menjawab metode sampling nan semestinya tidak boleh dilakukan dalam kalkulasi kerugian negara," imbuhnya.
Suparta mengatakan kerugian negara kudu nyata dan pasti. Menurut dia, keterangan Bambang Hero nan menggunakan kajian Google Map dan Google Earth tidak bisa dijadikan referensi untuk menganalisis lahan 170 ribu hektare.
Ia mengatakan semestinya Bambang Hero meminta pendapat tentang luasan nan pasti melalui lembaga pemerintah resmi seperti Badan Informasi Geospasial (BIG).
"Saudara Bambang nan mengaku dirinya mahir rupanya di dalam persidangan banyak menjawab tidak tahu dan tidak mau menjawab pertanyaan mendasar tentang finansial negara, tentang lingkungan dan tentang gimana proses kalkulasi kerugian negara," klaim Suparta.
"Saudara Bambang sangat biadab dalam membikin kajian dan pendapat nan asal-asalan nan sangat merugikan kami. Sikap tersebut sangat menyakitkan kami dan tidak bertanggung jawab," ungkap dia.
Ia pun bertanya-tanya apa nan didapat Kejaksaan Agung dan para jaksa nan menangani perkara ini ketika mengumumkan nilai kerugian negara nan sangat dahsyat tersebut.
"Setelah kita telusuri semua proses penanganan perkara timah ini, dari sejak investigasi dan penuntutan alias pembuktian di persidangan, apakah semua didakwa oleh jaksa interogator maupun penuntut umum betul apa adanya? Atau ada apanya?" ucap Suparta.
"Dengan uraian kami tersebut, kami minta nan Mulia majelis pengadil dapat mengabaikan kerugian lingkungan sebesar Rp271 triliun tersebut lantaran kerugian tersebut tidak nyata dan tidak pasti dan tidak dapat dipertanggungjawabkan," sambungnya.
Suparta dituntut dengan pidana 14 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan. Ia juga dituntut bayar duit pengganti sejumlah Rp4.571.438.592.561,56 (Rp4,5 triliun) subsider delapan tahun penjara.
Suparta berbareng sejumlah pihak lain termasuk Harvey Moeis (mewakili PT Refined Bangka Tin) disebut merugikan finansial negara sejumlah Rp300,003 triliun mengenai dengan kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah IUP di PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Jumlah kerugian negara tersebut berasas Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 Tanggal 28 Mei 2024 dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Republik Indonesia (BPKP RI).
(ryn/tsa)
[Gambas:Video CNN]