Gagal Paham Pemerintah Respons Mahalnya Uang Kuliah

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Pemerintah dinilai kandas mengerti dengan kenaikan duit kuliah tunggal (UKT) di sejumlah perguruan tinggi negeri (PTN). Sejumlah pengamat menilai pemerintah tak berpihak terhadap pengembangan pendidikan tinggi.

Polemik kenaikan nilai UKT terjadi di beragam kampus. Misalnya, di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed). Mahasiswa menggelar tindakan unjuk rasa lantaran duit kuliah naik hingga lima kali lipat.

Kasus lainnya terjadi di Universitas Negeri Riau. Di tempat ini apalagi sang rektor melaporkan mahasiswa nan berunjuk rasa ke polisi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenaikan UKT di beragam perguruan tinggi negeri tak terlepas dari status Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH). Kampus berstatus PTN BH punya otonomi terhadap pengelolaan sumber daya, termasuk penentuan biaya pendidikan.

Selain biaya pendidikan, PTN BH juga punya keleluasaan dalam pola pelaporan keuangan. Mereka juga punya ruang untuk menentukan program studi nan mereka buka.

Hingga saat ini, ada 21 perguruan tinggi negeri nan berstatus PTN BH. Sejumlah kampus lainnya juga sedang bersiap untuk mendapatkan status tersebut.

Di tengah kampus berkompetisi menjadi PTN BH dan kenaikan UKT nan terjadi, mutu pendidikan tinggi Indonesia jadi pertanyaan. Kampus-kampus Indonesia dinilai tetap tak bisa bersaing di kancah internasional meskipun biaya pendidikan terus naik.

Times Higher Education mencatat Universitas Indonesia (UI) sebagai kampus Indonesia dengan ranking bumi tertinggi. Namun, UI hanya berada di urutan 801-1.000 bumi dan 201-250 dunia.

Pemeringkatan universitas jenis Quacquarelli Symonds juga memotret perihal serupa. UI, UGM, dan ITB hanya bercokol di rentang 200-300 perguruan tinggi top dunia.

Potret buram itu juga ditambah dengan kebenaran minimnya penduduk Indonesia nan bisa mengakses pendidikan tinggi. Wakil Presiden Ma'ruf Amin menyebut hanya sekitar 5 persen dari 275 juta orang masyarakat Indonesia nan lulus S1. Lulusan S2 sekitar 0,3 persen, sedangkan lulusan S3 sekitar 0,02 persen.

Di tengah beragam rapor merah tersebut, pemerintah justru menanggapi santuy polemik kenaikan duit kuliah tunggal (UKT). Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie menyebut pendidikan tinggi tak wajib.

"Dari sisi nan lain kita bisa memandang bahwa pendidikan tinggi ini adalah tertiary education. Jadi bukan wajib belajar. Artinya tidak seluruhnya lulusan SLTA, SMK itu wajib masuk perguruan tinggi. Ini sifatnya adalah pilihan," ungkap Tjitjik di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Rabu (16/5).

Dia menambahkan, "Siapa nan mau mengembangkan diri masuk perguruan tinggi, ya itu sifatnya adalah pilihan, bukan wajib."

Pengamat pendidikan Darmaningtyas menilai pemerintah kandas mengerti merespons persoalan pendidikan tinggi. Dia memahami Tjitjik merujuk Konvensi HAM saat menyebut pendidikan tinggi kebutuhan tersier.

Namun, Kemendikbudristek dinilai lupa bahwa pendidikan tinggi menjadi kunci bangsa menjadi peradaban maju. Dia memberi contoh Korea Selatan nan merintis menjadi negara maju dengan memprioritaskan pendidikan tinggi.

Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mencatat 70 persen dari golongan umur 24-35 tahun di Korea Selatan telah lulus pendidikan tinggi.

"Makanya mereka bisa sigap maju. Jadi jika pejabat Kemendikbudristek langkah berpikirnya seperti itu, ya berfaedah dia tidak memahami makna krusial pendidikan tinggi," kata Darmaningtyas saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (17/5).

Darmaningtyas menilai kebijakan UKT dan PTN BH saat ini salah kaprah. Dia beranggapan semestinya pemerintah memfokuskan anggaran nan ada untuk menyubsidi pendidikan tinggi.

Dia berbicara pendidikan di perguruan tinggi kudu dibuat semurah-murahnya. Darmaningtyas mengingatkan negara seperti Kuba dan Mesir bisa menggratiskan biaya pendidikan di seluruh perguruan tinggi mereka.

"Kalau mau memajukan bangsanya, ya kudu membiayai pendidikan tinggi, setinggi-tingginya, sebanyak-banyaknya," ujarnya.

Terpisah, pengamat pendidikan Unnes Edi Subkhan mengatakan sebenarnya PTN BH dibuat untuk tujuan baik, ialah memperingkas laporan keuangan. Namun, kebijakan ini justru dibarengi pengurangan subsidi dari pemerintah untuk kampus-kampus PTN BH.

Hal ini membikin kampus tertimpa beban baru, ialah mencari pemasukan untuk biaya operasional. Padaal, tugas utama perguruan tinggi adalah mendidik, melakukan riset, dan mengabdi kepada masyarakat.

"Artinya kan pemerintah enggak serius tuh untuk investasi pendidikan untuk bangsanya sendiri," ucap Edi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat.

Evaluasi menyeluruh

Edi mengatakan mau tak mau pemerintah kudu merombak kebijakan mengenai PTN BH dan UKT. Dia menyarankan pemerintah tetap mempertahankan keluwesan perguruan tinggi, tetapi subsidi kudu ditambah.

"Jangan dikorbankan alias jangan dibarengi misalnya dengan pengurangan subsidi. Karena tiap tahun itu jika menjadi kampus nan bagus kan pasti ada inflasi, kebutuhannya kan makin meningkat," ucapnya.

Pengamat pendidikan UIN Syarief Hidayatullah Jakarta Jejen Musfah menyarankan pemerintah juga mengevaluasi kebijakan UKT di setiap perguruan tinggi negeri.

Dia menilai duit kuliah nan mahal tak sebanding dengan pelayanan nan diberikan. Tak hanya menyoal akomodasi nan bobrok, Jejen juga mempermasalahkan kualitas tenaga pendidikan.

"Mengapa misalnya lulusan kampus-kampus kita menganggur dan kalah saing dengan Negara-negara tetangga. Termasuk mengevaluasi apakah kontribusi negara terhadap kampus-kampus negeri sudah memadai untuk terselenggaranya akomodasi dan jasa nan berkualitas," ungkap Jejen saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat.

Dia pun menyarankan pemerintah mengevaluasi sistem penentuan golongan UKT nan sering salah alamat. Jejen menyebut banyak mahasiswa tak bisa justru menanggung biaya kuliah mahal.

(dhf/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional