Gubernur Kalsel Gugat UU Pilkada ke MK, Tolak Pelantikan Serentak

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor mengajukan uji materiil Pasal 201 ayat (7) Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Sahbirin meminta MK untuk mengatur agar pelantikan kepala wilayah Hasil Pilkada 2024 tak dilakukan secara serentak.

Sahbirin mempersoalkan Putusan MK Nomor 27/PUU-XXII/2024 nan membikin Pasal 201 ayat (7) itu menjadi bersuara "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan dilantiknya Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan serentak secara nasional tahun 2024 sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan".

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia menilai berasas ketentuan tersebut, maka dapat dipastikan bakal tetap ada kepala daerah, baik itu gubernur, bupati dan walikota nan periode jabatannya kurang dari lima tahun.

Kuasa norma pemohon, Ade Yan Yan Hasbullah pun mengatakan kewenangan konstitusional kliennya dirugikan.

"Ketentuan ini merugikan konstitusional Pemohon I dan Pemohon II nan baru dilantik pada tanggal 24 Agustus 2021, semestinya berasas Pasal 162 ayat (1) UU Pemilihan kepala Daerah Gubernur dan Wakil Gubernur memegang Jabatan Selama 5 (lima) Tahun terhitung sejak tanggal pelantikan, dengan demikian Pemohon I, semestinya berasas Pasal 162 ayat (1) UU Pemilihan Kepala Daerah kedudukan Pemohon selama 5 tahun terhitung sejak pelantikan semestinya menjabat sampai dengan Agustus 2026," ujar Ade dalam sidang pemeriksaan pembukaan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Senin (1/7).

Ade mengatakan Pilkada serentak 2024 mestinya tidak serta-merta mengurangi kewenangan konstitusional pemohon.

"Pemilihan Kepala Daerah Serentak dilakukan dalam rangka efisiensi anggaran, dan perihal itu tetap boleh dilakukan tanpa kudu menghilangkan kewenangan konstitusional nan semestinya diberikan kepada Pemohon sebagaimana ketentuan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945," kata Ade.

Dalam berkas permohonannya, pemohon mengungkap argumen permohonan ini mengenai dengan kudu dilakukan pelantikan secara serantak terhadap hasil Pilkada 2024.

Pemohon menilai perihal tersebut dapat dipastikan merugikan konstitusional Sahbirin. Terlebih, dengan pertimbangan sinkronisasi tata kelola pemerintah wilayah dengan pemerintah pusat.

Sebab, pemohon menilai perihal tersebut sudah pasti dilakukan dan selamanya bakal selalu menjadi persoalan nan kudu diselesaikan oleh pemerintah pusat dan pemerintah wilayah dengan diberlakukannya otonomi wilayah dalam kehidupan negara nan demokratis.

"Kami memohon kepada nan Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi agar pelantikan secara serentak tidak diberlakukan terlebih dulu sehingga Pemohon I (red, Sahbirin) dapat menyelesaikan periode 5 tahun jabatannya, barulah kemudian setelah kepala Daerah nan terpilih berasas Pemilihan Serentak menyelesaikan periode 5 tahunnya dan wilayah tersebut dijabat oleh Pejabat Sementara dan kembali melakukan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak berikutnya, maka pada saat itulah Pemilihan Kepala Daerah secara serentak dan pelantikan secara serentak dapat dilakukan, sehingga hak-hak sebagai penduduk negara sebagaimana diatur di dalam Pasal 28D UUD 1945 dapat terwujud," terang pemohon dalam berkas permohonannya.

Oleh karenanya, pemohon pun meminta MK untuk menyatakan Pasal 201 ayat (7) UU Pilkada bertentangan dengan ketentuan di dalam UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma nan mengikat.

Pada petitumnya, pemohon menyampaikan mau pasal tersebut diubah menjadi berbunyi: "Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan tahun 2020 menjabat sepanjang tidak melewati 5 (lima) tahun masa jabatan"

Majelis Hakim nan datang pada sidang ini adalah Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur dan Hakim Konstitusi Arsul Sani.

Para pengadil turut memberikan tanggapan terhadap permohonan nan disampaikan.

Ridwan menyoroti kedudukan norma pemohon nan hanya menguraikan mengenai kerugian konstitusional pemohon I, namun belum terdapat uraian kerugian dari pemohon II dan pemohon III.

Menurut Ridwan, pemohon mesti menjelaskan kaitan pemohon II selaku penduduk negara nan berprofesi sebagai PNS dan pemohon III selaku mahasiswa dengan adanya pemberlakuan pasal nan diujikan.

Saldi juga menilai kerugian konstitusional pemohon belum diuraikan pada bagian kedudukan hukum.

"Menjelaskan kerugian konstitusional itu juga menggunakan contoh provinsi Lampung, tahun berapa itu kejadiannya? Supaya clear kami melacaknya. Jadi, kelak dijelaskan, semakin jelas Anda menguraikan kepada kami. Nah itu semakin mudah menggunakannya," kata Saldi.

Pemohon diberikan waktu selama 14 hari kerja untuk melakukan perbaikan permohonan. Perbaikan permohonan diterima oleh Kepaniteraan MK paling lambat pada Senin (15/7) pukul 09.00 WIB.

(pop/fra)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional