Jakarta, CNN Indonesia --
Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) nan diwakili oleh Ketua Umum Laksanto Utomo dan Sekretaris Jenderal Rina Yulianti mengusulkan permohonan uji materi alias judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Senin (20/5).
Mereka menggandeng Viktor Santosa Tandiasa dan Tim VST and Partners nan terdiri dari Fitri Utami, Fauzi Muhammad Azhar, dan Aditya Ramadhan Harahap sebagai kuasa hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam permohonannya, mereka menguji Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara nan dianggap bertentangan terhadap Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2), dan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945.
Mereka pada pokoknya meminta kepada MK untuk menambahkan frasa 'Masyarakat Hukum Adat' dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara sehingga bunyi Pasalnya menjadi:
"Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan agama, hukum, keuangan, keamanan, kewenangan asasi manusia, masyarakat norma adat, pendidikan, kebudayaan, kesehatan, sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan, pertambangan, energi, pekerjaan umum, transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi, pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, kelautan, dan perikanan."
"Sudah daftar ke MK," ujar Viktor dengan menunjukkan bukti berkas pendaftaran permohonan, Senin (20/5).
Viktor menjelaskan nan menjadi argumen dalam permohonan pengetesan Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara adalah untuk menguatkan kedudukan masyarakat norma budaya nan merupakan bagian dari bangsa Indonesia sebagai pemegang kedaulatan tertinggi guna menyalurkan kehendak dan aspirasi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.
"Penguatan terhadap masyarakat norma budaya ini perlu diupayakan mengingat eksistensi masyarakat norma budaya hingga saat ini malah semakin termarjinalkan, tidak serius diurus, apalagi kerap menjadi korban kekerasan negara nan secara masif mengambil lahan-lahan nan dari awalnya dikuasai dan didiami oleh kelompok-kelompok masyarakat adat," kata Viktor.
Viktor menambahkan, andaikan memandang dalam aspek kelembagaan, urusan pemerintahan nan bersenggolan dengan hak-hak masyarakat budaya tetap melibatkan beragam lintas sektoral nan meliputi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Pertanian, dan Kementerian Dalam Negeri.
Menurut dia, diterapkannya sistem multi-pintu seperti saat ini nan mengatur mengenai urusan masyarakat budaya berakibat pada tumpang tindih kebijakan nan dikeluarkan oleh masing-masing kementerian.
Misalnya antara Kementerian Agraria dan Tata Ruang dengan KLHK mengenai status tanah rimba adat. Padahal, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 telah mengamanatkan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat norma budaya serta hak-hak tradisionalnya sepanjang tetap hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI nan diatur dalam Undang-undang.
Dalam Pasal tersebut, terang Viktor, negara bertanggung jawab untuk memberikan pengakuan dan penghormatan serta menjamin hak-hak masyarakat budaya dapat terlindungi dan terpenuhi oleh hukum.
Dengan demikian, kata Viktor menyimpulkan, pembentukan kementerian masyarakat norma budaya merupakan salah satu langkah progresif dalam memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat norma adat.
Ia menilai tidak masuknya frasa 'masyarakat norma adat' sebagai salah satu urusan pemerintahan dalam Pasal 5 ayat (2) UU Kementerian Negara menyebabkan tidak dibentuknya kementerian unik nan mengurusi urusan pemerintahan masyarakat norma adat.
"Hal ini kemudian menimbulkan persoalan dan perlakukan diskriminatif dan jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan menimbulkan ketidakadilan nan intolerable," ucap Viktor.
"Selain itu, juga bertentangan dengan kedaulatan rakyat in casu kedaulatan masyarakat norma budaya dan bertentangan dengan UUD 1945 in casu Pasal 1 ayat (2), Pasal 1 ayat (3), Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1)," tandasnya.
Masyarakat budaya di Indonesia hingga sekarang tetap berjuang untuk mendapat pengakuan dan perlindungan negara. Mereka terus mendorong agar Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Adat nan telah diusung sejak tahun 2003 itu disahkan. Terakhir, melalui jalur Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bertarung. Namun, PTUN Jakarta menyatakan tidak menerima permohonan mereka.
(ryn/fra)
[Gambas:Video CNN]