Iklan
TEMPO.CO, Jakarta - Lembaga riset Center of Economic and Law Studies alias CELIOS, merespons rumor Tabungan Perumaha Rakyat alias Tapera nan belakangan mengemuka. Menurut CELIOS, kebijakan nan termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 itu memberatkan pekerja.
Disamping mewajibkan pekerja untuk ikut serta, besaran iurannya pun cukup besar dengan penghitungan ad valorem atau persentase dari penghasilan alias upah. Jika pekerja tersebut berpendapatan di atas bayaran minimum regional, maka setiap bulan penghasilan pekerja itu dipotong 2,5 persen. "Di tengah pelemahan ekonomi dan daya beli masyarakat, tentu potongan tersebut sangat memberatkan. Wajar terdapat penolakan dari bumi upaya hingga asosiasi driver ojek online," ujar Nailul Huda dalam keterangan tertulis nan diterima Tempo, Senin, 3 Juni 2024.
Dalam Policy Brief berjudul Tapera untuk Siapa? Menghitung Untung Rugi Kebijakan Tapera, Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda menyampaikan kebijakan Tapera berasas hasil simulasi ekonomi menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp1,21 triliun, nan menunjukkan akibat negatif pada keseluruhan output ekonomi nasional. “Perhitungan menggunakan model input-output juga menunjukkan surplus untung bumi upaya turut mengalami penurunan sebesar Rp1,03 triliun dan pendapatan pekerja turut terdampak, dengan kontraksi sebesar Rp200 miliar, nan berfaedah daya beli masyarakat juga berkurang dan menurunkan permintaan beragam jenis sektor usaha,” kata Huda.
Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira mengatakan pengaruh paling signifikan terlihat pada pengurangan tenaga kerja, di mana kebijakan ini dapat menyebabkan hilangnya 466,83 ribu pekerjaan. Hal ini menurutnya menunjukkan kebijakan iuran wajib Tapera berakibat negatif pada lapangan kerja, lantaran terjadi pengurangan konsumsi dan investasi oleh perusahaan. "Meskipun ada sedikit peningkatan dalam penerimaan negara bersih sebesar Rp20 miliar, jumlah ini sangat mini dibandingkan dengan kerugian ekonomi nan terjadi di sektor-sektor lain,” tutur Bhima.
Selama kebijakan Tapera nantinya berjalan, menurut Huda, masalah backlog perumahan juga belum bisa teratasi. Bahkan jika ditarik lebih jauh ke model Taperum, masalah backlog perumahan ini tetap belum terselesaikan. “Adapun argumen backlog sempat mengalami penurunan lebih disebabkan perubahan style anak muda nan memilih tidak tinggal di kediaman permanen alias berpindah-pindah dari satu rumah sewa ke rumah lainnya,” Kata Huda.
CELIOS menyarankan pemerintah mengubah izin ini agar peruntukan Tapera hanya untuk ASN, TNI/Polri, sedangkan pekerja umum dan berdikari berkarakter sukarela. Selain itu, pemerintah kudu menunjukkan transparansi pengelolaan biaya Tapera termasuk asesmen imbal hasil (yield) dari tiap instrumen penempatan dana.
Iklan
Berikutnya, kudu ada pelibatan dari lembaga seperti KPK dan BPK dalam tata kelola biaya Tapera. Pemerintah juga kudu meningkatkan daya beli masyarakat agar kenaikan nilai rumah bisa diimbangi dengan naiknya pendapatan rata-rata kelas menengah dan bawah.
Spekulasi tanah nan menjadi dasar kenaikan ekstrem nilai kediaman juga harusnya bisa dikendalikan pemerintah. Termasuk, menurunkan tingkat suku kembang KPR baik fixed (tetap) maupun floating (mengambang) dengan efisiensi NIM perbankan dan intervensi kebijakan moneter Bank Indonesia. Terakhir, pemerintah kudu memprioritaskan biaya APBN untuk perumahan rakyat dibandingkan mega-proyek nan berakibat mini terhadap kesiapan kediaman seperti proyek IKN.
Pilihan editor: Minta Program Tapera Dibatalkan, Ekonom Ideas: Tata Kelola Dana Publik oleh Pemerintah Buruk
IHSAN RELIUBUN | AISHA