Izin Tambang untuk Ormas Agama, Pemerintah Diminta Perhatikan Dampak hingga Konflik Antar-Masyarkat

Sedang Trending 5 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi masyarakat sipil, POKJA 30 Kalimantan Timur, menilai Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 nan memberi izin pertambangan kepada ormas keagamaan berpotensi menimbulkan bentrok di lingkar tambang. POKJA 30 Kalimantan Timur menyebut bentrok masyarakat itu bakal terjadi khususnya di wilayah budaya nan ada ormas kesukuan. 

“Khususnya di wilayah budaya nan notabenenya terdapat Ormas Kesukuan,” kata Koordinator POKJA 30 Kalimantan Timur, Buyung Marajo, dalam keterangan tertulis pada Rabu, 19 Juni 2024. 

Presiden Joko Widodo alias Jokowi sebelumnya telah menandatangani revisi PP Nomor 96 Tahun 2021 menjadi PP Nomor 25 Tahun 2024.

Dalam patokan baru ini, terdapat tambahan Pasal 83A nan memungkinkan ormas keagamaan untuk mengelola wilayah izin upaya pertambangan unik (WIUPK) nan sebelumnya merupakan area eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B).

Buyung menyebut izin tambang ini juga bakal berakibat pada aktivitas pertambangan nan lebih luas. Ia mencontohkan, dalam beberapa kasus nan pernah dia tangani, aktivitas pertambangan meluas hingga merusak akomodasi publik. Dampaknya, kata dia, pemerintah wilayah kudu mengeluarkan anggaran negara untuk membiayai perbaikan dan rehabilitasi akomodasi publik nan rusak itu. 

Dia menyebut pemerintah semestinya lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan, terutama memberi izin tambang kepada ormas keagamaan. “Karena bisa menimbulkan kerugian besar di masa depan dan tidak memberikan keadilan lintas generasi, bentrok sosial juga tidak terelakan terutama antar-masyarakat,” kata dia. 

Berdasarkan catatan POKJA 30, terdapat sejumlah intimidasi dan kekerasan nan terjadi akibat aktivitas pertambangan. Buyung menyebut salah satunya pernah dilakukan oleh PT Kaltim Prima Coal (PT  KPC). PT KCP, kata Buyung, pernah melakukan  kekerasan dan melanggar kewenangan asasi manusia kepada penduduk dayak Basap Keraitan di Bengalon, Kalimantan Timur.  

“Mereka dipaksa pindah dari kampungnya dengan diintimidasi,” kata Buyung. 

Selain itu, kekerasan juga pernah dilakukan oleh PT Multi Harapan Utama (PT MHU) pada 2016 silam. Ketika itu, Buyung bercerita perusahaan tambang batu bara nan mendapat izin ini menewaskan anak. 

Iklan

“Tewasnya anak di lubang tambang di Kutai Kartanegara pada 2015 juga menjadi catatan tersendiri.,” kata Buyung.  

Selain intimidasi dan pelanggaran kewenangan asasi manusia, pencemaran lingkungan akibat tambang juga pernah terjadi. Buyung menyebut salah satu pelakunya adalah PT Indominco Mandiri (PT MI). Perusahaan ini, kata Buyung, pernah membuang limbah pertambangan di area rimba lindung dan mencemari Sungai Santan. 

“Pemerintah kemudian memberikan denda sebesar Rp 2 miliar, tetapi kerusakan nan dialami masyarakat jauh dari itu,” kata dia. 

Oleh lantaran itu, Buyung menyebut masyarakat di lingkar pertambangan ini bakal menjadi korban kembali atas hasil atas hasil aktivitas ekstraktif ini. Dia menyebut golongan masyarakat nan rentan ini juga tak pernah dilibatkan dalam pengambilan keputusan. 

“Mereka juga bakal menjadi golongan rentan baru setelah industri tambang ini hengkang dari wilayahnya,” kata dia. 

Menurut Buyung, dari jenis akibat jelek pertambangan bagi masyarakat, pemberian izin untuk ormas keagamaan bakal memperparah kondisi golongan rentan ini. “Akan menjadi puzzle pelengkap dari kutukan sumber daya alam nan berlimpah yaitu, golongan masyarakat bakal bertikai dengan golongan masyarakat lainnya,” kata dia.

Pilihan Editor: Kader Hijau Muhammadiyah Desak Konsesi Tambang dari Pemerintah Ditolak: Banyak nan Tak Kompeten untuk Maksimalkan Laba

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis