Janggal Kasus Vina Cirebon Perlu Audit Investigasi

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Kasus pembunuhan sepasang kekasih Vina dan Rizky (Eky) di Cirebon, Jawa Barat, pada Agustus 2016 kembali jadi sorotan publik. Setelah movie nan mengangkat kisah itu ramai ditonton, beragam fakta-fakta baru mengenai kasus pembunuhan Vina bermunculan.

Hingga kini, ada delapan orang nan telah diadili dan dijatuhi vonis hukuman. Polisi awalnya menyebut total ada 11 orang pelaku nan terlibat pembunuhan Vina dan Eky, sehingga tetap ada tiga orang nan buron selama delapan tahun.

Polda Jawa Barat apalagi merilis tiga orang itu dalam daftar pencarian orang (DPO). Baru-baru ini, polisi menangkap seorang berjulukan Pegi Setiawan namalain Perong namalain Robi Irawan. Ia diyakini jadi salah satu pelaku utama dalam pembunuhan Vina.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, setelah penangkapan Pegi, polisi meralat bahwa total pelaku hanya sembilan. Maka, semua pelaku pembunuhan telah ditangkap.

Dua DPO nan digugurkan ialah Andi dan Dani. Polisi menjelaskan pencabutan status DPO terhadap dua orang itu lantaran rupanya para terpidana hanya asal sebut.

Pengamat Kepolisian dari ISSES Bambang Rukminto menilai polisi belum bekerja secara profesional. Menurutnya, saat ini penyelidikan polisi dalam kasus pembunuhan Vina terasa janggal.

Ia mengatakan semestinya polisi bekerja secara objektif dan ilmiah sehingga tak gegabah ketika menetapkan para DPO terduga pelaku.

"Kalau polisi bekerja secara ahli tentu bekerja dengan objektif, ilmiah, dan bisa dipertanggungjawabkan, tak bisa dipengaruhi subjektivitas individual interogator alias pihak-pihak lain, maupun dorongan masyarakat," kata Bambang kepada CNNIndonesia.com, Selasa (28/5).

Bambang menduga ada kesalahan prosedur dan lemahnya perangkat bukti ketika polisi menetapkan tiga DPO pembunuh Vina.

Ia beranggapan mestinya polisi sudah bisa menangkap tiga DPO itu sejak delapan tahun lampau jika tak salah prosedur. Ia menegaskan kepolisian modern tak bisa mengandalkan kesaksian sebagai perangkat bukti, tapi juga perihal lain nan bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

"Kepolisian tak punya perangkat bukti lain selain kesaksian [delapan pelaku lain] itu untuk mentersangkakan tiga DPO itu. Ini dua orang malah dianulir dari DPO. Ini konfirmasi bahwa selama ini proses dilakukan oleh kepolisian ini bisa jadi menyalahi prosedur. Karena penetapan tersangka dengan dua perangkat bukti nan kuat itu tidak dilakukan," ucap dia.

Bambang menilai suatu kebenaran tak bisa ditentukan hanya lantaran tekanan massa. Karena itu, dia mengatakan kasus Vina ini dapat jadi momentum perbaikan Polri dengan melakukan audit investigasi secara menyeluruh.

Ia mengatakan langkah ini bisa dilakukan Divisi Profesi dan Pengamanan Polri melalui audit penyelidikan ataupun investigasi kasus pembunuhan Vina.

"Ini kan jadi membikin beban Polri saat ini. Audit investigasi oleh Divpropam untuk menjelaskan apakah ada kesalahan SOP alias tidak. Sehingga bisa menjawab keraguan nan muncul di masyarakat," kata Bambang.

Tak wajar cabut status DPO

Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menganggap keputusan polisi mencabut status dua DPO di kasus pembunuhan Vina tidak wajar. Sebab, nama-nama DPO tersebut sudah tercantum dalam arsip investigasi dan penyelidikan polisi hingga amar putusan majelis hakim.

"Ini tidak wajar, khususnya lantaran tiga nama itu tercantum dalam amar putusan hakim. Tentunya, info dalam amar sudah tersaring sejak arsip penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan juga sudah menjalani pemeriksaan di pengadilan," kata Adrianus.

Ia pun menilai lamanya penyelesaian kasus ini membikin banyak bukti serta ingatan hilang. Kasus pun jadi sumir.

Adrianus menduga polisi hanya mempunyai bukti dan kebenaran nan kuat terhadap salah satu DPO saja ialah Pegi sehingga sukses ditangkap.

"Dua DPO lain diyakini tidak ada [bukti], daripada kelak diserang oleh penasehat norma dari dua DPO tersebut," kata dia.

Selain itu, Adrianus menyoroti gugurnya status dua DPO membawa masalah mengenai bangunan kasus. Ia mengatakan awalnya diyakini pembunuhan tersebut dilakukan oleh 11 orang.

Namun, sekarang polisi menyatakan pelaku hanya sembilan orang. Ia mengatakan polisi kudu membikin bangunan kasus baru nan belum tentu diyakini majelis hakim.

"Jadi, bagi tersangka baru maupun pelaku nan sudah selesai menjalani pidana, plus pengacara masing-masing bersiap saja menempuh sistem praperadilan dan pengadilan untuk meyakinkan pengadil bahwa mereka adalah korban salah tangkap. Tentunya kepolisian bakal mengusulkan perangkat bukti sebaliknya," kata dia.

(rzr/tsa)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional