Jokowi Peringatkan Soal Fenomena Gig Economy di Indonesia, Apakah Ekonomi Serabutan Itu?

Sedang Trending 2 minggu yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo alias Jokowi menyoroti kejadian "gig economy" alias ekonomi serabutan, nan diprediksi bakal menjadi tren perekonomian di masa depan. Dalam model ini, perusahaan condong memilih untuk merekrut pekerja lepas alias independen, daripada tenaga kerja tetap.

"Gig economy. Hati-hati dengan ini, ekonomi serabutan, ekonomi paruh waktu. Kalau tidak dikelola dengan baik, ini bakal menjadi tren. Perusahaan lebih memilih pekerja independen, perusahaan lebih memilih pekerja nan freelancer," kata Presiden Jokowi pada pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII dan Seminar Nasional 2024 nan disaksikan melalui tayangan langsung YouTube Sekretariat Presiden di Jakarta, Kamis, 19 September 2024, nan dikutip dari Antara. 

Presiden menyatakan bahwa tren ekonomi serabutan bakal mendorong perusahaan untuk lebih memilih pekerja dengan perjanjian jangka pendek, seperti freelancer, guna mengurangi akibat ketidakpastian dunia nan sedang berlangsung.

Presiden juga menjelaskan bahwa ekonomi serabutan memungkinkan seseorang untuk bekerja baik di dalam negeri maupun luar negeri, nan dapat mempersempit dan mengurangi kesempatan kerja.

Kepala Negara berambisi agar kongres dan seminar ISEI 2024 dapat memberikan kajian serta rencana taktis untuk mempersiapkan strategi menghadapi situasi perekonomian di masa mendatang.

Gig economy semakin mendominasi pasar tenaga kerja global. Dilansir dari Investopedia, sistem ini berjuntai pada kontraktor independen dan pekerja lepas untuk mengisi posisi sementara dan paruh waktu, bukan pekerja tetap. Dengan meningkatnya kebutuhan bakal fleksibilitas, ekonomi serabutan menawarkan model kerja nan lebih adaptif, namun juga mempunyai beragam tantangan bagi pekerja.

Pekerja lepas dalam ekonomi gig mempunyai untung dalam perihal elastisitas dan kemandirian. Mereka bebas memilih pekerjaan, mengatur waktu, serta menentukan sendiri proyek nan mau dikerjakan. Namun, di sisi lain, pekerjaan ini sering kali tidak memberikan agunan kerja nan pasti, serta tidak menawarkan tunjangan seperti asuransi kesehatan alias libur berbayar nan biasanya diterima oleh pekerja tetap.

Bagi pengusaha, model ekonomi ini memungkinkan mereka untuk menghemat biaya. Dengan merekrut pekerja lepas, perusahaan tidak perlu menyediakan tunjangan tambahan seperti nan diberikan kepada tenaga kerja tetap. Hal ini dapat membantu perusahaan mengurangi akibat keuangan, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Ekonomi gig mencakup beragam jenis pekerjaan, mulai dari mengelola persewaan jangka pendek, jasa pengarahan belajar, penulisan kode, pengemudi transportasi daring, pengantaran makanan, hingga penulis lepas. Sektor pendidikan juga merasakan dampaknya, dengan banyak perguruan tinggi dan universitas nan mulai merekrut lebih banyak guru besar tambahan dan paruh waktu untuk menyesuaikan kebutuhan akademis.

Iklan

Masih dari sumber nan sama, pada tahun 2020, gig economy mengalami lonjakan besar akibat pandemi Covid-19. Karantina wilayah dan pembatasan sosial memaksa orang untuk bekerja dari rumah serta lebih berjuntai pada jasa daring. Pada tahun 2023, diperkirakan nyaris 64 juta penduduk Amerika, alias sekitar 38 persen dari tenaga kerja AS, bekerja sebagai freelancer atau kontraktor independen, dengan kontribusi mencapai $1,27 triliun bagi ekonomi AS.

Meskipun ekonomi gig menawarkan fleksibilitas, tren ini juga membawa tantangan bagi pekerja tetap. Banyak pekerja penuh waktu merasa kesulitan untuk mengembangkan pekerjaan mereka dan membangun reputasi jangka panjang di lingkungan nan semakin kompetitif. Selain itu, hilangnya hak-hak pekerja seperti asuransi kesehatan, libur sakit, dan liburan berbayar menjadi rumor nan terus dibahas.

Pengusaha pun tidak tertekan untuk bayar bayaran nan lebih tinggi, lantaran mereka dapat merekrut pekerja dari wilayah nan mempunyai biaya hidup lebih rendah. Hal ini menambah tantangan bagi pekerja di negara-negara dengan standar bayaran nan lebih tinggi.

Dikutip dari laman investoepedia, Fleksibilitas ekonomi gig memang menjadi daya tarik, namun bagi sebagian pekerja, perihal ini juga dapat mengganggu keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Jam kerja nan tidak tetap, perubahan pendapatan, serta hilangnya keakraban dengan pengguna alias pemberi kerja jangka panjang dapat berakibat negatif pada kesejahteraan pekerja.

Menurut sebuah studi dari Institut Kesehatan Nasional pada 2022, pekerja lepas melaporkan tingkat kepuasan hidup dan kesehatan mental nan lebih rendah dibandingkan mereka nan bekerja penuh waktu. Kesepian dan ketidakamanan finansial menjadi masalah utama nan dihadapi oleh pekerja lepas.

Berbeda dengan pekerja tetap nan menerima tunjangan dari perusahaan, pekerja gig kudu menanggung biaya asuransi kesehatan dan tunjangan lain secara mandiri. Mereka pun bertanggung jawab untuk bayar pajak wirausaha dan biaya operasional upaya mereka.

Pilihan Editor: Ekonomi Gig dan Kelas Prekariat

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis