Jumlah Kelas Menengah Turun, Airlangga Hartarto: Ini Scaring Effect

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, mengadakan pertemuan di kantornya pada Selasa, 27 Agustus 2024, dengan sejumlah mantan Menko Perekonomian dan pejabat lainnya. Pertemuan ini bermaksud untuk membahas potensi kelas menengah di Indonesia.

Lima mantan Menko nan datang di antaranya adalah Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, nan menjabat pada periode 2001-2004; Aburizal Bakrie periode 2004-2005; Sri Mulyani nan menjabat sebagai Plt Menko pada Mei-Agustus 2008; Chairul Tanjung pada Mei-Oktober 2014; dan Darmin Nasution periode 2014-2019. Selain itu, datang pula Plt Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, serta Ketua Umum Apindo, Shinta Kamdani.

Setelah pertemuan tertutup, mereka berbincang kepada wartawan. Airlangga menekankan bahwa kelas menengah sangat krusial sebagai pendorong utama perekonomian, meskipun jumlahnya menurun sejak pandemi COVID-19. “Seperti nan dikatakan oleh Menteri Keuangan, ini sebagai scaring effect, di mana ini diharapkan bisa diperbaiki ke depannya,” kata Airlangga, selepas obrolan Peran dan Potensi Kelas Menengah Menuju Indonesia Emas 2045 di kantornya, Selasa, 27 Agustus 2024.

Upaya menjaga kelas menengah

Menurut Airlangga, pemerintah telah melakukan beragam upaya, termasuk melalui beberapa program seperti perlindungan sosial, insentif pajak, Prakerja, hingga Kredit Usaha Rakyat (KUR). Mengenai insentif pajak, Airlangga menjelaskan bahwa insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) untuk sektor perumahan telah ditingkatkan dari sebelumnya 50 persen menjadi 100 persen hingga Desember 2024. Keputusan ini telah disetujui oleh Presiden Joko Widodo alias Jokowi, dan Peraturan Menteri Keuangannya sedang disiapkan oleh Menteri Keuangan.

Selain itu, pemerintah juga mendorong peningkatan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan nan mendukung Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), dari semula 166 ribu unit menjadi 200 ribu unit. Kedua kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan keahlian kelas menengah dan mendorong sektor konsumsi.

Daya beli masyarakat kelas menengah turun

Indonesia telah mengalami deflasi, ialah penurunan nilai peralatan dan jasa, selama tiga bulan berturut-turut. Meskipun ini tampaknya menguntungkan konsumen, deflasi nan berjalan lama bisa menjadi tanda penurunan ekonomi. Salah satu akibat nan muncul adalah pengaruh spiral, di mana penurunan nilai menyebabkan turunnya permintaan, nan pada gilirannya menurunkan daya beli dan menyebabkan penurunan nilai lebih lanjut.

Didik J. Rachbini, ahli ekonomi senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengingatkan bahwa deflasi mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat. Bagi konsumen, deflasi ini menguntungkan lantaran nilai peralatan menjadi lebih murah. Namun, perihal ini juga menunjukkan bahwa banyak konsumen menunda pembelian alias tidak bisa mengkonsumsi secara normal.

Iklan

Di sisi lain, daya beli masyarakat kelas menengah juga mengalami penurunan. Rangga Cipta, Chief Economist Mandiri Sekuritas, menjelaskan bahwa setelah pandemi COVID-19, perekonomian Indonesia mulai pulih dan kembali normal. Kelompok nan mendorong pemulihan ekonomi adalah kelas menengah dan atas. Namun, daya beli kelas menengah justru menurun.

“Setelah reopening ini justru kelas menengah itu mulai lambat, ada rumor sektor manufaktur nan mulai terdapat pelambatan global,” kata Rangga Rabu, 7 Agustus 2024.

Rangga menambahkan bahwa kombinasi dari kondisi tersebut menyebabkan konsumsi kelas menengah melambat dan stagnan, berbeda dari kelas bawah nan tetap dalam posisi stagnan namun menerima support sosial dari pemerintah. Penurunan daya beli kelas menengah sudah terlihat saat seremoni Idul Adha pada Juni 2024.

Kelas menengah dapat didefinisikan dengan beberapa pendekatan nan berbeda. Pendekatan pertama adalah relatif, di mana kelas menengah diukur berasas okupansi, baik dari sisi pendapatan maupun konsumsi, dengan rentang pendapatan antara 75 dan 125 persen dari median pendapatan per kapita masyarakat.

Pendekatan kedua adalah absolut, nan mendefinisikan kelas menengah berasas pendapatan alias pengeluaran konsumsi. Menurut ahli ekonomi India, Surjit Bhalla, kelas menengah adalah mereka nan mempunyai pendapatan tahunan lebih dari Rp62 juta dalam ukuran paritas daya beli. Pendekatan ketiga adalah hybrid alias campuran, nan membedakan kelas menengah di negara berkembang dengan di negara maju.

SUKMA KANTHI NURANI | ILONA ESTHERINA | HAURA HAMIDAH | RACHEL FARADIBA REGAR

Pilihan Editor: Daya Beli Masyarakat Disinyalir Menurun, Apa Saja Faktornya?

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis