Jurnalis, Mahasiswa hingga Aktivis di Surabaya Tolak RUU Penyiaran

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Surabaya, CNN Indonesia --

Berbagai komponen masyarakat sipil nan terdiri dari jurnalis, mahasiswa, konten kreator, seniman hingga aktivis kewenangan asasi manusia di Surabaya, Jawa Timur, menggelar obrolan dan konsolidasi untuk menyikapi revisi Undang-Undang alias RUU Penyiaran, Selasa (21/5).

Mereka nan datang di antaranya adalah perwakilan antaranya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Surabaya, Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

Kemudian Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Surabaya, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Lentera, LBH Surabaya, Aksi Kamisan, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), lampau akademisi, seniman, konten pembuat dan komponen masyarakat sipil lainnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketua AJI Surabaya, Eben Haezer mengatakan, konsolidasi ini digagas oleh Komite Advokasi Jurnalis Jawa Timur nan beranggotakan AJI, Kontras dan LBH lentera. Melalui forum ini mereka mau menggali masukan dari komponen lain mengenai RUU Penyiaran.

"Kami mau menggali masukan dari mereka, pendapat mereka, mengenai RUU Penyiaran. Dalam obrolan kali ini, kami sepakat bahwa ada prosedur nan salah dalam pembentukan RUU Penyiaran," kata Eben, Rabu (22/5).

Proses penyusunan RUU nan salah ini, kata Eben, kemudian disertai pula dengan munculnya pasal-pasal asing nan tidak seprinsip dengan kemerdekaan pers.

"Misalnya 50b ayat 2c, nan secara spesifik melarang penayangan konten eksklusif kewartawanan investigasi. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers," ujarnya.

Menurut Eben, dalam UU Pers 40 Tahun 1999 sudah diatur bahwa kerja pers dilindungi oleh UU. Maka tentu RUU Penyiaran bertentangan dengan perihal itu. Pelarangan ini juga jelas berpotensi membatasi kewenangan publik untuk mendapatkan informasi.

"Ini juga melanggar kepentingan publik, lantaran haknya publik untuk tahu adalah kewenangan asasi manusia, dan tugas itu, amanah itu dititipkan kepada jurnalis," katanya.

Eben menilai ada banyak sekali pasal dalam RUU Penyiaran nan bermasalah. Contohnya soal hilangnya patokan mengenai kepemilikan media, pasal nan membahayakan pendemokrasian konten, kemudian pasal nan menakut-nakuti perlindungan terhadap golongan minoritas.

"Akhirnya kami sepakat bahwa RUU Penyiaran ini kudu ditolak, prosesnya sudah salah, kontennya banyak nan bermasalah," ucap Eben.

Meski pihaknya tegas menolak RUU Penyiaran ini, bukan berfaedah mereka membenarkan UU Penyiaran Nomor 23 Tahun 2002.

"Bukan berfaedah UU Penyiaran nan lama itu benar, tetap ada masalah iya, tapi kami menganggap itu kudu dikaji ulang dari awal dengan melibatkan partisipasi publik nan bermakna," kata Eben.

"Harus kembali lagi ke awal, don transparan dalam merumuskan pasal-pasal, melibatkan publik sehingga kemudian enggak sampai muncul pasal-pasal nan berpotensi melanggar kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi," tambahnya.

Senada, Ketua IJTI Korda Surabaya Falentinus Hartayan nan datang pada forum konsolidasi itu mengatakan, RUU Penyiaran nan sedang dibahas di Badan Legislasi (Baleg) DPR RI ini sebaiknya tak buru-buru untuk disahkan.

"IJTI sendiri menilai, jangan terburu-buru RUU penyiaran ini menjadi undang-undang, lantaran ada banyak alias ada beberapa poin pasal-pasal nan kontroversial dan bermasalah," kata Falen.

Contohnya, kata Falen, ialah pasal nan melarang penayangan eksklusif kewartawanan investigasi. Yakni di Pasal 50b ayat 2c. Menurutnya bakal patokan itu bakal membunuh roh kewartawanan mereka. "Padahal kewartawanan investigasi itu adalah roh dari kerja-kerja jurnalistik kami," tuturnya.


Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional