TEMPO.CO, Jakarta - Kecelakaan lampau lintas kembali terjadi di Tol Cipularang. Pada hari ini, Rabu, 22 Januari 2025, Jasa Marga melaporkan peristiwa truk menabrak minibus di KM 80+400 ruas Tol Cipularang arah Bandung. Tidak ada korban jiwa maupun luka dalam kejadian nan terjadi pada pukul 09.16 itu.
Senior Manager Representative Office 3 PT Jasamarga Metropolitan Tollroad (JMT) Agni Mayvinna mengimbau pengguna jalan lebih berhati-hati, tidak menggunakan gawai saat berkendara, serta menjaga jarak kondusif dengan kendaraan lain.
"Mari tingkatkan antisipasi jika melintas alias berdekatan dengan kendaraan besar seperti truk dan bus, khususnya saat melintas di Ruas Tol Cipularang dan Padaleunyi,” kata Agni melalui keterangan tertulis pada Rabu, 22 Januari 2025. “Jika memandang kendaraan melaju dengan tidak semestinya, segera laporkan ke petugas melalui call center 14080.”
Apabila terjadi gangguan pengereman kendaraan, Agni menuturkan, pengguna jalan dapat memanfaatkan jalur penyelamat darurat. Jalu ini berada di KM 116, KM 92+600, dan KM 91+400 ruas Tol Cipularang arah Jakarta.
Kecelakaan di Tol Cipularang memang kerap terjadi. Pada 11 November 2024 misalnya, kecelakaan beruntun nan melibatkan truk dan 17 mobil penumpang terjadi di KM 92. Insiden bermulai ketika ada truk nan melaju dari arah Bandung menuju Jakarta mengalami rem blong. Peristiwa ini merenggut nyawa empat korban.
Kemudian pada periode pikulan Natal 2024 dan Tahun Baru 2025 alias Nataru, kecelakaan terjadi di KM 800+000 arah Jakarta pada Kamis, 26 Desember 2024 pukul 01.35. Insiden nan melibatkan satu bus dan dump truck ini menyebabkan dua korban meninggal. Selang berapa jam kemudian, kecelakaan terjadi di KM 92+400 arah Jakarta. Peristiwa nan terjadi pukul 02.50 itu mlelibatkan bus dan kendaraan lain.
Temuan KNKT
Sebelumnya, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) menemukan sejumlah persoalan dari segi prasarana dan sarana prasarana di Tol Cipularang. Temuan ini disapat dari investigasi nan dilakukan atas kecelakaan beruntun di KM 92 nan terjadi pada 11 November 2024.
Ketua KNKT Soerjanto Thanjono memaparkan temuan ini dalam rapat kerja berbareng Komisi V DPR RI pada Rabu, 4 Desember 2024. Soerjanto menuturkan salah satu persoalan di Tol Cipularang berangkaian dengan perlengkapan jalan. Ia berujar, di antara KM 100 sampai KM 90 dengan dengan slope penurunan sekitar 5 hingga 8 persen, terdapat tanda “kurangi kecepatan 60 kilometer per jam”. Soerjanto mengatakan rambu tersebut rawan untuk kendaraan besar.
“Meskipun tidak overload, bakal berbahaya,” kata Soerjanto. “Ini kudu dievaluasi, berapa sebaiknya kecepatan nan kondusif untuk wilayah ini.”
KNKT menemukan jalur darurat nan disertai tanda bertumpuk. Soerjanto mengatakan bahwa dalam jalur darurat, semestinya Kementerian Perhubungan hanya memperikan tanda unik jalur darurat agar tidak membingungkan pengemudi.
Soerjanto juga menemukan rumble strip di beberapa titik di KM 92. “Ini ketika mobil dengan teknologi ABS, justru ketika melewati di wilayah sini bakal tidak bisa ngerem,” katanya. Jika melewati rumblestrip ketika suspensi tidak baik pun justru bakal menimbulkan masalah, seperti slip.
Kemudian, di KM 92+600, KNKT menemukan guardrail alias pagar pengaman jalan nan tidak sesuai standar. Menurut Soerjanto, semestinya terdapat transisi antara beton dan guardrail. “Tapi di sini tidak ada transisi,” ujarnya.
Pada jalur pemberhentian darurat di KM 92+600 pun, Soerjanto mengatakan, sudutnya terlalu tajam. Sehingga ketika terjadi kondisi darurat untuk kendaraan besar, kendaraan tersebut tidak mungkin bisa masuk. Ia pun mengusulkan perbaikan.
“Maksimum perspektif masuk adalah 5 deraja, sehingga mudah untuk masuk,” kata Soerjanto. “Dan isi jalur penyelamat itu alias pemberhentian darurat itu harusnya dari gravel, tidak dengan pasir alias dengan tanah.”
Permasalahan juga ditemukan di KM 95. Soerjanto mengatakan di sisi dalam terddapat drainase di median jalan tetapi hanya di beberapa tempat. Sedangkan di KM 94 sampai 94+400 tidak tersedia drainase di media jalan. Sementara itu, jalan menikung ke kanan dengan superelevasi 8 persen ke kanan. Walhasil, ketika hujan, air bakal mengumpul di kanan.
“Ini bakal menyebabkan masalah aquaplanning alias hydroplaning,” ujar Soerjanto. “Bahu di luar terdapat drainase tapi di bahu dalam tak terdapat drainase. Secara peraturan semestinya ada drainase untuk membuang limpahan nan mengarah ke kanan.”
Berikutnya, soal masalah tinggi bahu jalan terhadap sisi luar dari tanah. Padahal, mestinya kondisi jalan rata. Saat meninjau lokasi, Soerjanto mengatakan terdapat perbedaan ketinggian sekitar 30 cm hingga 40 cm. Padahal, idealnya maksimal 5 cm. “Ini membahayakan ketika mobil tidak sengaja keluar dari bahu jalan bakal bisa terguling,” kata dia.
Pilihan Editor: Erick Thohir Instruksikan BUMN agar Tak Naikkan Harga Tiket saat Musim Mudik Lebaran