Kedaulatan Indonesia dan Bayang Militerisasi Laut China Selatan

Sedang Trending 4 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

Gejolak di Laut China Selatan bereskalasi seiring meningkatnya aktivitas China di area itu. Indonesia nan sebagian wilayahnya bersinggungan, dituntut waspada dan jeli dalam menjaga dan menegakkan kedaulatan wilayahnya.

Laut China Selatan membentang dari Selat Karimata hingga Selat Taiwan. Perairan seluas 3,5 juta kilometer persegi ini dikeliling sejumlah negara nan terlibat saling tumpang tindih klaim.

Negara-negara nan berkepentingan di Laut China Selatan kebanyakan merupakan personil ASEAN, antara lain Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei Darussalam, [Teluk] Thailand, dan Indonesia. Ada dua negara di luar ASEAN nan juga berbatasan langsung dengan Laut China Selatan, ialah Taiwan dan China.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kepulauan Paracel dan Sparatly jadi titik terpanas bentrok wilayah di Laut China Selatan dengan masing-masing kepulauan melibatkan tiga dan enam negara bersengketa.

Klaim teritorial terhadap Laut China Selatan sejatinya bukan hal baru. James Gregor mencatat pada era modern, klaim sepihak pernah dilakukan Jepang setelah menang dalam perang Sino-Jepang 1885 (Huang & Billo, 2015).

Pada Perang Dunia II, China dan Vietnam di bawah pendudukan Jepang dan Perancis juga menyatakan kedaulatan atas pulau-pulau berikut gugusan karang di area itu.

Nilai strategis Laut China Selatan

Sejarah penguasaan terhadap Laut China Selatan bisa direntangkan lebih jauh ke belakang untuk memperlihatkan beragam modus dan transformasi bentrok dan aktor-aktornya. Namun, susah dipungkiri, bahwa pada hari ini, salah satu pemicu utama persaingan teritorial itu dipengaruhi oleh segenap nilai strategis di area itu.

Laut China Selatan adalah salah satu urat nadi perdagangan internasional.

U.S Energy Information Administration (EIA) menyebut pada 2023, sekitar 18 juta barel per hari (b/d) dari minyak mentah dan kondensat melewati perairan itu dan Teluk Thailand. Jumlah itu sama dengan 43 persen pengiriman minyak bumi via maritim.

Pada tahun nan sama, 6,7 triliun kaki kubik LNG serta 10 juta barel per hari produk-produk petroleum melintas di sana.

Kekayaan alam di Laut China Selatan juga berlimpah. Selain potensi ikan tangkap, terdapat sumber persediaan gas dan minyak bumi nan sangat signifikan. Diperkirakan, Laut China Selatan menyimpan miliaran barel minyak bumi dan triliunan kaki kubik gas alam.

China menjadi tokoh paling disorot dalam peta bentrok Laut China Selatan.

Lewat peta terbaru nan dirilis Agustus 2023 lalu, China mengenalkan konsep sekaligus klaim ten dash line. Ini adalah pembaruan dari peta sebelumnya, nine dash line.

Konsep garis putus-putus ini disebut sebagai garis imajiner nan digunakan China untuk menyatakan sebagian besar Laut China Selatan.

Garis imajiner China berpijak pada rute tradisional para nelayan mereka pada masa lampau di Laut China Selatan. Pakar hubungan internasional Asrudin menyebutnya sebagai klaim historis.

Klaim historis nine dash line maupun ten dash line China berada di luar rezim norma laut internasional UNCLOS 1982. Namun, kebenaran tersebut tak menghentikan langkah China untuk menyatakan area Laut China Selatan.

Lewat ten dash line, China apalagi menyatakan penguasaan sekitar 90 persen wilayah Laut China Selatan.

Klaim Beijing terbentang mulai dari wilayah dan perairan nan berbatasan dengan Vietnam, Filipina, Indonesia, Malaysia, hingga Taiwan.

Peta baru China apalagi ikut mencaplok wilayah nan disengketakan dengan India. Protes keras pun datang dari India, Taiwan dan negara-negara ASEAN nan merasa dirugikan.

Taiwan langsung menolak seluruh klaim China, sementara Malaysia menyebutnya sebagai upaya sepihak untuk mengontrol perairan nan bersenggolan dengan Zona Ekonomi Eksklusif mereka.

China juga membangun pulau baru di wilayah Laut China Selatan. Sejumlah negara meyakini pembangunan pulau baru itu untuk memfasilitasi kepentingan militer China.

Menurut Asrudin, meningkatnya aktivitas China di Laut China Selatan dalam dua dasawarsa terakhir tak lepas dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan militer nan dinikmati Beijing.

"Peningkatan aktivitas dan dugaan militerisasi di Laut China Selatan sekaligus sinyal kesungguhan China di bawah Xi Jinping untuk menguasai area itu," kata Asrudin.

Selain aspek ekonomi, lanjutnya, motif geopolitik juga melatari kesungguhan China menguasai area itu.

Laut China Selatan bisa dimanfaatkan Beijing sebagai instrumen menangkal ancaman musuh-musuhnya. Asrudin berbicara pembangunan pulau baru nan diduga untuk kepentingan militer China, bisa menjadi penangkal terhadap Armada Ketujuh Amerika Serikat.

"Jelas, China enggak bakal membiarkan area strategis itu dikuasai negara-negara nan berkawan dengan AS," ujarnya.

Peta konflik 

Laut China Selatan tak bisa dibayangkan sebagai medan bentrok 'semua melawan China'. Bagaimanapun, tumpang tindih klaim teritorial di sana melibatkan nyaris semua negara nan bersenggolan secara geografis.

Tumpang tindih klaim di Kepulauan Paracel terjadi antara China, Vietnam, dan Taiwan. Sementara status Kepulauan Sparatly diperebutkan oleh enam negara ialah China, Taiwan, Vietnam, Brunei, Malaysia dan Filipina. Tiga negara terakhir hanya menyatakan sebagian pulau-pulau di Kepulauan Sparatly.

Indonesia tidak termasuk negara nan terlibat tumpang tindih klaim di Laut China Selatan. Namun, garis putus putus China secara langsung bersenggolan dengan area ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau.

Berpijak pada klaim historis itu kapal-kapal nelayan dan kapal patroli China kerap beraksi dan beraktivitas di wilayah ZEE Indonesia. Sesuatu nan menurut norma laut internasional hanya diperbolehkan hanya jika mendapat izin dari negara pemilik ZEE.

Ketegangan beberapa kali terjadi. nan terbaru dan cukup menghebohkan, tentu saja aktivitas kapal riset China di Natuna Utara pada kurun Agustus sampai Oktober 2021 lalu.

TNI AL sempat mengirim KRI Bontang untuk membayangi pergerakan kapal China ini selama dua hari, 15 dan 16 September. Meski sempat pergi, kapal riset itu kembali pada awal Oktober 2021.

China bersenggolan lebih keras dengan Filipina dalam beberapa insiden. Meskipun tidak sampai bentrok terbuka, persinggungan China dan Filipina serta sejumlah negara lain membikin ketegangan di area semakin tereskalasi dari waktu ke waktu.

Peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia Beni Sukadis tak menampik kemungkinan pecah bentrok terbuka di Laut China Selatan.

Sebaliknya, menurut Asrudin, mini potensi bentrok terbuka di area itu. Salah satu faktornya, kata dia, payung keamanan AS terhadap sejumlah negara seperti Filipina dan Taiwan. Hal lain, China diyakini belum mempunyai kapabilitas militer nan sama dengan AS.

"Militer China memang meningkat pesat, tapi belum mencapai balance of power nan ideal untuk menandingi Amerika. Jadi, selama Amerika tetap memberikan payung keamanan dan meletakkan perhatian besar di Laut China Selatan, Beijing bakal berpikir dua kali untuk bertindak lebih jauh nan memicu bentrok terbuka," ujar dia.

Ancaman kedaulatan

Beni Sukadis berbicara Indonesia bakal sangat terdampak jika terjadi bentrok terbuka di Laut China Selatan. Karena itu, diperlukan antisipasi nan matang dari pemerintah untuk meminimalisir dampaknya.

Upaya itu bisa dilakukan lewat kerja dan inisiatif pemerintah di dalam negeri dan kerja sama multilateral.

Pada level multilateral, Beni menekankan pentingnya melanjutkan kerja sama nan lebih kuat antara Indonesia dengan negara-negara ASEAN dan China agar bentrok di perairan bisa diminimalisir.

Indonesia saat ini terus berupaya mempercepat proses negosiasi kode etik alias Code of Conduct (COC) di Laut China Selatan. Inisiatif Indonesia ini melibatkan ASEAN dan China.

Sambil memperkuat kerja sama multilateral itu, Indonesia juga perlu meningkatkan pengawasan dan keamanan di wilayah ZEE terutama di Natuna Utara.

"Pengawasan bisa melalui perangkat intelijen, surveilans, dan pemantauan (ISR), terutama jika patroli kapal TNI AL hanya bisa dilakukan secara terbatas," kata Beni.

Ia juga mendorong adanya sistem pengawasan dan pengamanan lintas instansi. Dengan kata lain, tanggung jawab tak hanya di pundak TNI AL. Kerja sama antar pemangku kepentingan bisa melibatkan Bakamla, Polri, KKP, Kemenhub, TNI AU, lembaga penelitian hingga masyarakat sekitar.

Di sisi lain, Asrudin meyakini China sebagai negara nan bersenggolan dengan Indonesia di Natuna Utara, tak bakal menjadi ancaman serius apalagi sampai memicu konflik. 

Hal nan mendasari itu adalah posisi strategis Indonesia di ASEAN dan kesalingtergantungan dengan China.

Ada hubungan ekonomi krusial antara China dengan Indonesia dan ASEAN. Data resmi pemerintah nan dirilis instansi buletin Xinhua bahkan mengungkap ASEAN sebagai mitra jual beli terbesar China pada 2023.

Meski demikian, Asrudin tetap menekankan pentingnya sikap tegas dalam menegakkan kewenangan berdaulat Indonesia di ZEE Natuna Utara. Ini bertindak tak hanya kepada China, juga terhadap negara-negara lain nan melanggar wilayah ZEE Indonesia.

Menurut pengajar Universitas Satyagama Jakarta ini, sikap tegas krusial agar Indonesia tidak dipandang sebelah mata oleh negara-negara lain.

"Tanpa ketegasan, persepsi itu pasti bakal tumbuh dan merugikan kedaulatan Indonesia sebagai negara besar," ucapnya.

Menurutnya, sikap tegas Indonesia pernah diperlihatkan pada era Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Salah satunya lewat kebijakan menenggelamkan kapal-kapal nan melanggar wilayah Indonesia.

"Memang anggarannya cukup besar, tapi apa nan diselamatkan jauh lebih berbobot lantaran menyangkut kedaulatan," ujar dia.

Sikap tegas itu perlu dipertahankan meski lewat langkah nan berbeda. Asrudin secara unik menyoroti sikap tak bersuara Indonesia terhadap protes China mengenai Natuna Utara. 

Menurutnya, sikap tersebut sudah tepat. Dengan diam, Indonesia secara tak langsung menegaskan posisinya di Natuna Utara.

Asrudin juga mendorong pentingnya kehadiran negara secara permanen lewat patroli-patroli dan meningkatkan eksplorasi di Natuna Utara serta wilayah-wilayah perbatasan lain nan rawan bentrok dan pelanggaran pihak luar.

Catatan lain, Asrudin menekankan bahwa kerja-kerja menegakkan kedaulatan di Natuna Utara kudu dilakukan dalam satu rantai komando nan jelas.

Menurutnya, pelibatan banyak instansi akan susah melangkah efektif dan efisien jika tidak terkoordinasi dalam satu komando tunggal. Ego sektoral bisa muncul dan menghalang kerja-kerja di lapangan.

Kedaulatan merupakan perihal nan vital bagi sebuah negara. Kedaulatan bisa mempengaruhi rencana hidup penduduk apalagi keberlangsungan sebuah negara. Atas dasar itu, Asrudin mendorong peran langsung dari presiden dalam upaya menjamin dan menegakkan kedaulatan di Natuna Utara, juga wilayah-wilayah perbatasan lain.

(wis)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional