Kelompok Nelayan Menolak Reklamasi Teluk Manado

Sedang Trending 5 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah nelayan di Manado mengaku cemas dengan proyek reklamasi Teluk Manado. Mereka menilai proyek tersebut berpotensi merusak terumbu karang di laut. Penimbunan tersebut juga dikhawatirkan bakal menakut-nakuti ketahanan perikanan masyarakat dan golongan nelayan nan berjuntai nasib di laut Teluk Manado, Sulawesi Utara, itu.

"Korban utama dari reklamasi ini adalah nelayan. Nelayan bakal kehilangan ruang hidup," kata Rusli Abeng Umar, salah satu nelayan asal Manado, dalam obrolan pada Selasa, 25 Juni 2024. 

Rusli nan tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli Lingkungan (AMPL) mengatakan reklamasi itu berpotensi menghilangkan sumber kehidupan ribuan nelayan di sana.

Proyek reklamasi Teluk Manado dikerjakan oleh PT Manado Perkasa Utara. Proyek itu berada di area Pantai Karangria, Kota Manado, Sulawesi Utara. Reklamasi ini dilakukan seluas 90 hektare. Dengan kedalaman laut nan ditimbun sedalam 25 meter. Sejumlah golongan masyarakat, terutama nelayan menyatakan menolak penimbunan area pantai di utara Manado itu. 

Menurut Rusli, nelayan merupakan golongan masyarakat paling terdampak dari proyek reklamasi. Mereka nan berjuntai nasib di laut untuk menghidupi family bakal kehilangan mata pencaharian. "Saya penduduk nan kena dampak. Karena rumah disekitar situ," tutur Koordinator Nelayan Daseng Maasing dari Kelurahan Maasing, Kecamatan Tuminting, Manado, itu. Daseng Maasing merupakan golongan nelayan nan menolak reklamasi.

Menurut dia, dalam reklamasi ini, ada lima kelurahan nan terkena dampak, ialah Sindulang Satu, Sindulang Dua, Karangria, Tumumpa, dan Maasing. Kelima kelurahan tersebut masuk dalam wilayah Kecamatan Tuminting, Manado.

Rusli menjelaskan, selain nelayan, nan terdampak adalah pedagang kaki lima. Pedagang ini menjajakan kuliner di pesisir utara Teluk Manado, itu bakal kehilangan mata pencaharian. Juga penduduk lain bakal terimbas oleh banjir di area sekitar area reklamasi. "Sebelum reklamasi penduduk sudah merasakan banjir, seperti banjir di Karangria," ujar nelayan 39 tahun itu.

Iklan

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia alias Walhi, Parid Ridwanuddin, mengatakan jika dilihat dari kondisi perikanan, hasil perikanan di Indonesia diproduksi dari wilayah terumbu karang. Menurut dia, 80 persen perikanan di Indonesia, merupakan perikanan rakyat.

Walhi mencatat, sepanjang 2010-2019 terjadi penurunan jumlah nelayan di Indonesia. Pada 2010, tercatat sebanyak 2,16 juta orang nelayan. Namun pada 2019, jumlahnya tinggal 1,83 juta orang. Artinya, dalam satu dasawarsa terakhir, 330.000 orang nelayan di Indonesia telah hilang. "Hal ini diakibatkan oleh industri ekstraktif, seperti tambang pasir di laut nan merusak wilayah tangkap nelayan," kata Parid, dalam obrolan daring itu.

Dia mengatakan, adanya penolakan terhadap proyek reklamasi itu lantaran masyarakat mengkhawatirkan terumbu karang di laut rusak. Masyarakat, kata dia, sangat berjuntai terhadap terumbu karang di laut. "Kalau terumbu karang hancur, perikanan masyarakat bakal hilang," kata Parid, saat dihubungi pada Selasa, 25 Juni 2024.

Berikutnya, Parid menjelaskan, akibat dari reklamasi nan ditolak penduduk sekarang karena, berpotensi menimbulkan banjir dan abrasi. Sehingga dalam pengamatan di lapangan, setelah reklamasi berjalan, wilayah nan dekat penimbunan pantai itu kerap mengalami banjir.

Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan izin reklamasi ini pada 17 Juni 2022. Luas area pantai nan bakal direklamasi seluas 90 hektare. Sementara kedalaman laut nan bakal ditimbun sedalam 25 meter. Dalam izin KKP itu, area reklamasi itu bermaksud untuk pembangunan area upaya dan pariwisata.

Pilihan Editor: Banjir di Kawasan Sepaku IKN, Sekitar 80 Rumah Terdampak

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis