TEMPO.CO, Jakarta - Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) Heru Tri Widarto mengungkapkan pihaknya mengalokasikan anggaran sebesar Rp 43,1 miliar hingga 2025 untuk mengejar sasaran swasembada gula. Adapun pemerintah menargetkan swasembada gula secara nasional paling lambat pada 2028.
"Dana ini untuk program intensifikasi dengan memanfaatkan lahan tebu existing berupa aktivitas rawat ratoon dan bongkar ratoon," ujar Heru kepada Tempo, Sabtu, 2 November 2024. Kegiatan rawat ratoon merupakan pemeliharaan tanaman tebu nan sudah ada. Sedangkan aktivitas bongkar ratoon ialah peremajaan tanaman untuk meningktakan produktivitas tebu.
Untuk 2024, Direktorat Jenderal Perkebunan menggelontorkan sebanyak Rp 22, 3 miliar. Dana ini bakal digunakan untuk aktivitas Rawat Ratoon seluas 4.700 hektare. Sedangkan 2025, sudah dianggarkan sebesar Rp 20,8 miliar untuk aktivitas bongkar ratoon seluas 560 hektare.
Selain program intensifikasi lahan tebu, Kementerian Pertanian juga bakal melakukan ekstensifikasi alias pembukaan lahan baru. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023, bakal ada penambahan areal lahan baru perkebunan tebu seluas 700.000 hektar. Heru berujar lahannya antara lain bakal berasal dari lahan perkebunan dan lahan tebu rakyat.
Dalam beleid itu, pemerintah pun menargetkan peningkatan produktivitas tebu sebesar 93 ton per hektar dari capaian. Heru menuturkan saat ini produktivitas tebu secara nasional baru mencapai 67 ton per hektare. Untuk megerjar target, Kementerian Pertanian bakal memperbaiki praktik agrikultur berupa pembibitan, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan tebang muat angkut.
Pemerintah juga mencanangkan sasaran peningkatan rendeman tebu sebesar 11,2 persen. Rendeman tebu merupakan persentase gula nan dihasilkan dari proses pengolahan tebu. Menurut Heru, saat ini rendeman tebu Indonesia baru mencapai 7,3 persen.
Peneliti pertanian dari Center of Reform on Economics Indonesia, Eliza Mardian, beranggapan selama ini pendekatan kebijakan nan dilakukan pemerintah tetap keliru, sehingga berulang kali kandas mencapai sasaran swasembada gula. Misalnya kegagalan program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) nan diakibatkan ketidaksesuaian lahan untuk menanam tebu.
Awalnya, lahan program MIFEE ditanami tebu, tetapi akhirnya ditanami sawit lantaran kandas akibat pengairan tidak memadai. Pemerintahan saat ini hendak menjalankan program serupa, ialah mencetak lahan tebu di Merauke untuk memenuhi kebutuhan gula dalam negeri dan bioetanol. "Kegagalan bisa terulang lagi lantaran tidak memenuhi norma ilmiah," tutur Eliza.
Selain lantaran lahan nan tidak sesuai, menurut Eliza, rendemen tebu Indonesia rendah lantaran banyak pabrik gula nan mesinnya sudah tua. Bahkan ada mesin nan usianya lebih dari 100 tahun. Karena itu, pemerintah perlu merevitalisasi pabrik-pabrik dan mesin gula jika mau meningkatkan produksi gula.