TEMPO.CO, Tangerang - Ketua Umum Asosiasi Pengurus Ritel Indonenesia (Aprindo) Solihin menilai, kebijakan pemerintah nan bakal menaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal memberatkan pembeli alias konsumen. "Berat dong, siapa nan berat? Iya pembeli," ujarnya di Tangerang, Minggu 17 November 2024.
Sohilin mengatakan, PPN memang naik 1 persen dari 11 persen menjadi 12 persen. Namun, jika dihitung 1 per 12, menurut dia, perihal itu tetap bakal memberatkan pembeli." Naiknya 1 per 12, nan menanggung adalah pembeli pada umumnya," ucap dia.
Namun, ketika ditanya sikap Aprindo soal kebijakan pemerintah ini, Solihin tidak mau menjawab. Begitu juga dengan langkah nan bakal diambil Aprindo mengenai PPN nan memberatkan konsumen ini.
Solihin mengatakan perekonomian saat ini sedang tidak baik-baik saja. Bisnis ritel saat ini, kata dia, dihadapkan dengan beragam tantangan, salah satunya pergeseran orientasi pada konsumen.
Menurutnya, orientasi konsumen saat ini mengarah pada produk dengan nilai nan lebih murah, ukuran nan lebih kecil. Konsumen condong memilih produk nan lebih murah dalam satu kategori produk dari beberapa merek.
Dia mencontohkan, seperti air minum mineral dengan beragam merek, nan dalam satu kategori merek terdapat perbedaan harga. "Harganya di bawah 10 persen itu nan lebih laku, 28 persen orang mengambilnya," kata Solihin.
Menurutnya, konsumen nan loyal sudah mulai bergeser, nan tadinya lebih banyak membeli dengan ukuran nan besar, sekarang dengan ukuran nan lebih kecil.
Kondisi seperti inilah, ujar dia, nan dihadapi peritel dengan menyiapkan kebutuhan kebutuhan konsumen. "Salah satu strateginya adalah menyesuaikan selera konsumen nan berubah orientasi. Tapi Fungsi dan manfaatnya sama," kata dia.
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap melangkah sesuai mandat Undang-Undang (UU). Hal ini disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat rapat kerja berbareng Komisi XI DPR RI, Kamis, 14 November 2024.
Sri menegaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di beragam sektor. "Artinya, ketika kami membikin kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi alias perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan apalagi waktu itu termasuk makanan pokok," katanya.
Menurut dia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kudu dijaga kesehatannya. "Seperti ketika terjadinya krisis finansial dunia dan pandemi, itu kami gunakan APBN," ujarnya.