Kepala BKKBN Bantah Wajibkan Tiap Wanita Punya 1 Anak Perempuan

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Yogyakarta, CNN Indonesia --

Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengklaim ada kesalahan tafsir pernyataannya soal setiap family untuk setidaknya mempunyai satu anak perempuan.

Dia mengaku tidak pernah merasa mewajibkan setiap family mempunyai satu anak perempuan.

"Oh itu pelintirannya, salah. Kan saya ngomongnya enggak gitu. Saya ngomongnya, diharapkan rata-rata satu wanita punya anak satu perempuan. Rata-rata itu artinya bukan setiap orang ya," kata Hasto ditemui di Hotel Sheraton, Sleman, DIY, Sabtu (6/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai gambaran, lanjut Hasto, jika di sebuah kampung tinggal sepuluh wanita maka pada generasi berikutnya minimal ada sepuluh wanita lagi.

BKKBN, katanya, hanya menyuarakan kewenangannya buat menjaga keseimbangan pertumbuhan penduduk.

"Rata-rata wanita punya anak dua itu penting, bukan wajib lho, kelak dipelintir lagi, wajib punya anak dua kan celaka. Kayak kemarin (diberitakan) satu wanita kudu punya anak [perempuan], kan salah itu," dalihnya.

"Pakai rata-rata dong, rata-rata satu wanita mestinya punya anak wanita satu, rata-rata. Kalau depan rumah anak wanita dua, belakang rumah enggak punya anak wanita no problem. Jangan dipelintir ya, rata-rata," imbuh mantan bupati Kulon Progo ini.

Sebelumnya, pernyataan Hasto ramai disorot dalam beberapa waktu terakhir.

"Karena jika anaknya dua lebih dikit, maka nyaris dipastikan satu wanita bakal melahirkan anak satu perempuan," ujar Hasto kepada wartawan, Kamis (27/6), mengutip detikcom.

Hasto membandingkan tren kelahiran saat ini dengan tahun 1970-an. Kala itu, rata-rata wanita dapat melahirkan 6-9 anak dalam setiap keluarga. Sementara saat ini, seorang wanita hanya melahirkan 1-2 anak.

"Jadi, selama beberapa puluh tahun terakhir ini penurunannya sangat progresif," tambah Hasto.

Ia juga menyinggung nomor kelahiran alias total fertility rate (TFR) di Indonesia terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Berdasarkan pemantauan Hasto, sejumlah provinsi di Pulau Jawa mempunyai nomor TFR nan rendah.

"Di Jawa ini sudah 2,0 sekian ya. Tadi di Jabar sudah 2,00 sekian, di Jawa Tengah 2,04, di DIY 1,9, di DKI juga 1,89," papar Hasto.

Bonus demografi

Pesan soal anak wanita tersebut, Hasto melanjutkan, keluar dengan menimbang kondisi jendela bingkisan demografi nan menjadi kesempatan bangsa Indonesia menuju negara maju semakin sempit.

Jika tidak ada upaya ekstra dari para pihak, kesempatan bingkisan demografi bakal terlewati dan Indonesia bakal terjebak sebagai negara berpendapatan menengah.

"Negara dan masyarakat punya kesempatan pendapatan per kapita naik cepat, kapan punya kesempatan pendapatan per kapita naik pesat? Pada saat nan muda-muda itu jauh lebih banyak dibandingkan lansia," jelasnya.

"Tahun 2035 hati-hati lantaran lansianya sudah jauh lebih banyak dibandingkan dengan anak-anaknya. Sementara lansia tahun 2035 ke sana itu umumnya lansia nan pendidikannya rendah, ekonomi rendah, lantaran lansia-lansia ini seusia saya ke atas, mengerti kan," sambung dia.

Hasto menyadari dinamika pertumbuhan masyarakat adalah peristiwa alam nan erat kaitannya dengan kesehatan reproduksi.

BKKBN juga ikut mengendalikan pertumbuhan masyarakat di wilayah nan status fertility rate alias nomor kesuburannya tinggi, macam NTT dan Papua. Pihaknya membantu dengan sosialisasi pemakaian perangkat kontrasepsi.

Sementara untuk daerah-daerah dengan status nomor kesuburannya sudah di bawah 2, BKKBN mengedukasi dan mengingatkan pemisah usia sehat alias ideal bagi wanita untuk hamil.

"Jangan terlalu muda, juga jangan terlalu tua. Ingat, pemisah sehatnya wanita mengandung adalah 20-35 tahun, jangan terlalu sering mengandung juga, jaraknya tiga tahun lah. Dan jangan terlalu banyak, 2-3 anak udah cukup," paparnya.

Pada kesempatan nan sama, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memandang strategi BKKBN ini realistis.

Kata dia, persoalan berkurangnya populasi alias masyarakat usia produktif dan penduduk lansia nan mulai mendominasi juga dirasakan sejumlah negara di beragam bagian dunia.

Isu ini juga sudah dibicarakan pada pertemuan sekelas G7 alias G20 beberapa waktu lalu. Ancaman ini setidaknya telah membikin Produk Domestik Bruto (GDP) sejumlah negara tak bisa tumbuh di atas 4 persen per tahun.

"Jadi jika kita tetap mau ngejar agar kita jadi negara maju, butuh pertumbuhan GDP nan cukup tinggi, nah jumlah usia produktif itu tetap perlu tinggi dan itu itung-itungan beliau (Hasto), total fertility rate-nya kudu di nomor 2,1 lah, minimal," ucap Budi.

"Kalau udah turun di bawah itu, kita belum jadi negara maju, itu bakal lebih susah momentum kita untuk capai ke sana," sambungnya.

Kemenkes pun mendukung capaian BKKBN ini dan berkomitmen untuk mewujudkan pembangunan kesehatan nan merata di seluruh Indonesia sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia nan produktif secara sosial dan ekonomis.

"Kita support nan penting; bapak ibunya sehat, dan jika udah menikah ya punya anak lah, jangan terlalu tua juga punya anaknya. Kalau udah menikah anaknya baru satu, ya udah lah kita perbanyak," pungkas Menkes.

(kum/arh)

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional