Jakarta, CNN Indonesia --
Mantan tenaga kerja Jhon LBF yang sekarang jadi terdakwa kasus pencemaran nama baik, Septia Dwi Pertiwi, mengungkapkan dirinya banyak memandang dan mendengar hal-hal nan menyakitkan hati selama 21 bulan bekerja di PT Hive Five.
Dalam nota pembelaan alias pleidoinya, Septia mengatakan dirinya bekerja terhitung sejak Januari 2021 hingga Oktober 2022. Ia merupakan pekerja terlama di Divisi Marketing.
"Selama 21 bulan, sangat sering saya memandang dan mendengar hal-hal nan menyakitkan hati," ujar Septia di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rabu (18/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Walaupun terdapat ruangan pemimpin nan bisa digunakan untuk menutupi kemarahan itu, nyatanya ruangan terbuka, kubikel instansi pekerja bekerja terkesan lebih nyaman digunakan untuk meluapkan kemarahan pemimpin kepada buruhnya, sampai-sampai pekerja lain nan tidak tahu menahu terpaksa menjadi tahu," sambungnya.
Kata Septia, apa nan terjadi selama 21 bulan tersebut lebih menyakitkan daripada nan terungkap dalam persidangan. Pemecatan mendadak tanpa ada peringatan membikin Septia bagai bekerja di ujung jurang.
"Setiap hari, saya selalu mempersiapkan diri jika sewaktu-waktu mendapatkan giliran bakal dipecat. Selain itu, saya kudu mempersiapkan mental jika penghasilan saya dipotong tanpa argumen nan jelas. Bahkan, akibat kesalahan orang lain-pun saya terkena akibat pemotongan gaji," kata dia.
Hal tersebut membikin Septia merasa tidak bakal pernah terhindar dari pemotongan gaji. Ia mengatakan tak sedikit nan keluar dari perusahaan dalam keadaan psikis terganggu dan butuh pertolongan mental agar dapat kembali hidup normal.
"Orang-orang nan tidak tahu dan mengerti bakal kejadian tersebut hanya bisa menilai mental kami belum kuat. Tetapi, setelah kami keluar dari sana dan bekerja di perusahaan lain, kami baru menyadari jika apa nan pernah terjadi di sana sangat tidak layak untuk kami rasakan," imbuhnya.
Komisaris PT Hive Five Henry Kurnia Adhi namalain Jhon LBF disebut bertindak otoriter dan tidak menerima suara-suara dari buruh. Pemecatan selalu menjadi 'senjata' Jhon LBF untuk pekerja nan dianggapnya membikin kesalahan.
"Penjelasan nan dilakukan pekerja selalu dianggap membantah bagi pak Henry, dan pak Henry sangat tidak suka pekerja membantah," ucap dia.
Ia pun bercerita gimana kasus dirinya bergulir hingga ke pengadilan. Ia mengomentari cuitan dari akun @askrlfess di Twitter (saat ini X). Ia menegaskan tidak ada tujuan mencemarkan nama baik dalam cuitannya.
"Apa nan saya lakukan hanya berkomentar selayaknya nan dilakukan oleh ribuan pengguna Twitter lain terhadap tweet tersebut. Saya pun selalu bertanya-tanya sampai saat ini, kenapa dari ribuan akun nan mengomentari, hanya saya satu-satunya nan dilaporkan," tutur Septia.
"Padahal, media sosial adalah sarana alias perangkat informasi, komunikasi dan hubungan dengan publik luas. Ada pertukaran informasi, corak info berupa ekspresi, gambar, tulisan, gambar bergerak, bunyi alias kombinasi atas semuanya. Tidak ada larangan bagi setiap perseorangan untuk mengeluarkan beranggapan dan berekspresi," sambungnya.
Ia pun menyoroti penilaian jaksa nan menyebutnya tidak menyesali perbuatan. Awalnya, dia sempat berpikir untuk menyesal. Namun, dia meyakini apa nan telah dilakukannya tidak salah sama sekali.
"Oleh lantaran itu, saya tidak menyesali perbuatan sebagaimana nan didakwakan jaksa penuntut umum kepada saya," ucap dia.
Septia juga bertanya-tanya pertimbangan apa nan dipakai jaksa sehingga menilai perbuatannya telah meresahkan masyarakat. Padahal, dia menegaskan apa nan telah dilakukan dalam rangka memperjuangkan pemenuhan kewenangan asasi manusia (HAM) dalam perihal ini buruh.
"Majelis pengadil nan saya hormati, hari ini pelanggaran hak-hak ketenagakerjaan seperti bayaran murah, lembur tidak dibayar, kerja 24 jam nan merupakan kalimat hiperbola dari tidak ada 'hari libur', tidak ada agunan kesehatan, merupakan perihal nan plural ditemukan," lanjut Septia.
"Pak Henry juga telah melakukan itu sebagaimana terbukti dalam proses pembuktian. Perusahaan-perusahaan lain juga barangkali melakukan itu. Itu nan membikin orang-orang terpantik untuk bersuara dan bersimpati terhadap apa nan saya alami," tandasnya.
Atas pelbagai catatan tersebut, Septia berambisi majelis pengadil nan memeriksa dan mengadili perkaranya dapat memutus dengan setara dan bijaksana.
"Saya percaya majelis pengadil menjadi pembebas bukan untuk saya saja namun pembebas bagi semua orang nan berani menghentikan praktik penindasan. Saya meyakini bahwa perkara ini bukan perkara tindak pidana," ungkap dia.
Sebelumnya, pada 11 Desember 2024, di persidangan dengan agenda tuntutan, Septia dituntut balasan 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp50 juta subsider 3 bulan kurungan lantaran dianggap terbukti bersalah melakukan tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE.
Sejumlah pihak sudah mengusulkan pendapat tertulis sebagai amicus curiae dalam perkara ini. Poinnya, mereka sepakat Septia kudu bebas.
(ryn/gil)
[Gambas:Video CNN]