Komisi I DPR: RUU Penyiaran Tak Bermaksud Larang Tayangan Investigasi

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Anggota Komisi I DPR RI Bobby Adhityo Rizaldi menyatakan pihaknya tidak bermaksud melarang penayangan eksklusif kewartawanan investigasi melalui draf Rancangan Undang-undang Penyiaran nan sekarang sedang ditunda pembahasannya.

Bobby menjelaskan Komisi I DPR mau eksklusivitas penayangan konten kewartawanan investigasi diatur sehingga menguntungkan lembaga penyiaran.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jurnalistik investigasi itu dilarang, bukan," ujar Bobby dalam obrolan berjudul 'Menakar Urgensi RUU Penyiaran' nan digelar Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) di Ampera, Jakarta Selatan, Jumat (14/6) petang.

Politikus Partai Golkar ini mengungkapkan Komisi I DPR beriktikad mengatur investigasi eksklusif melalui kewenangan siar alias publisher right. Dengan demikian, menurut dia, produksi buletin bakal bisa lebih variatif dan menguntungkan lembaga siar.

"Kita ini kan mau bahwa pers mempunyai nan di wilayah di mana-mana ada punya publisher rights alias kewenangan siar alias dia itu dilindungi, sehingga produksi buletin itu bakal menjadi lebih variatif, lebih banyak dan jika ditayangkan di platform digital nan bikin buletin pertama dapat uang. Bagus toh ini publisher rights," ujarnya.

Ia menambahkan pengaturan dalam draf RUU Penyiaran juga ditujukan agar tidak ada konten investigasi sensitif seperti kasus norma maupun terorisme nan disiarkan platform digital seperti Netflix dan sejenisnya.

"Nah, jika terhadap suatu kasus mudah saja lah, Kopi Sianida, kan sekarang ada filmnya. Filmnya ditayangkan di mana? Di Netflix, bukan di tempat lain. Nah, jika di Netflix apa? Tangan kita enggak bisa menjangkau. Kalau nan seperti ini gimana dong? Kasus norma sudah diputuskan, ada filmnya, kronologisnya ada, pandangan-pandangannya (dalam film), ini bisa rawan membikin publik tidak percaya sistem norma kita," katanya.

Sementara itu, praktisi norma Viktor Santoso Tandiasa menambahkan jangan sampai antara niat dengan norma nan dituangkan berbeda. Ia menegaskan niat dan patokan nan dibuat nantinya kudu sama-sama baik.

"Ini nan perlu kita kawal bersama-sama. Jangan sampai dari niat baik itu kemudian dituangkan menjadi norma dan normanya menjadi tidak baik," ucap Viktor.

"Bagaimana melihatnya? Saat mempunyai niat baik alias political will nan baik, mana kemudian norma itu tentunya secara jelas dan tidak multitafsir. Harus jelas penyampaian niat itu," ujarnya.

Dalam kesempatan nan sama, praktisi norma Deolipa Yumara mengkritik patokan nan termuat dalam draf RUU Penyiaran, terutama mengenai kata 'ekslusif' dalam kewartawanan investigasi.

Menurut dia, perihal itu membikin bingung masyarakat dan jurnalis.

"Ternyata ada kata-kata eksklusif, tapi eksklusifnya enggak dibahas. Gimana jika kita tidak tahu? Jadi, ini adalah kata-kata nan multitafsir," kata Deolipa.

Ia menyampaikan kerja-kerja jurnalistik dominan dengan investigasi. Untuk itu, dia mengingatkan DPR melalui RUU Penyiaran tidak melarang wartawan untuk melakukan aktivitas investigasi dan menyiarkannya.

"Kerja pers itu 90 persennya adalah investigasi, 10 persen sisanya menyiarkan, kan gitu," katanya.

Deolipa menambahkan DPR kudu jeli ketika merumuskan suatu peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, dia mengatakan kerja-kerja jurnalistik sudah diatur melalui UU Pers, dan sudah ada UU ITE nan menakut-nakuti wartawan juga.

"Undang-undang ITE ada, selesai urusan. Siapa lagi nan dikejar? Kalau nan dikejar penyiaran, penyiaran juga bagian dari pers," kata Deolipa.

Turut datang dalam agenda obrolan tersebut Komisioner Komisi Informasi Pusat (KIP) Handoko Agung Saputro, dan Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Yadi Hendriana melalui rekaman Zoom.

(ryn/fra)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional