TEMPO.CO, Jakarta - Akhir-akhir ini media sosial Indonesia diramaikan dengan berita sebuah upaya penampungan susu di Boyolali, UD Pramono, diminta bayar pajak senilai Rp670 juta. Karena tidak sanggup membayar, Pramono pun memutuskan untuk menutup usahanya. Hal ini berkapak kepada peternak sapi nan kebingungan kudu menjual kemana hasil produksi susu sapinya.
Masalah semakin rumit ketika rekening UD Pramono nan menampung duit hasil produksi susu diduga diblokir oleh instansi Pajak, sehingga membikin setoran susu dari 1.300 peternak macet. Akibatnya, seratusan petani dan peternak sapi pun geram dan mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Boyolali, Jawa Tengah, pada 28 Oktober 2024 lalu.
Menanggapi berita itu, Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan, menyatakan pemblokiran rekening Usaha Dagang (UD) Pramono di Boyolali, Jawa Tengah, dilakukan sesuai prosedur nan berlaku
“Penagihan pajak merupakan upaya menagih kewenangan negara terhadap penunggak pajak/wajib pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan nan berlaku,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Selasa, 5 November 2024.
Lantas seperti apa kronologi penampungan susu Boyolali UD Pramono diminta bayar pajak sebesar Rp670 juta? Berikut rangkuman info selengkapnya.
Kronologi UD Pramono Diminta bayar Pajak Rp670 Juta
Berdasarkan info nan beredar di media sosial X, persoalan pajak Pramono bermulai pada tahun 2020 lampau saat instansi pajak melakukan penagihan untuk masa dan tahun pajak 2018. Saat itu, Pramono mengaku sempat terkejut lantaran nilai pajak nan kudu dia tanggung mencapai Rp2 miliar. Dia kemudian menyatakan keberatan dan beban pajak diturunkan menjadi Rp671 juta.
Namun Pramono saat itu tetap keberatan lantaran nominal tersebut berada di atas omset usahanya. Hal ini disebabkan lantaran selama ini pihaknya tidak mengambil untung dari penjualan susu petani kepada pabrik. Dia pun mengaku membeli susu dari peternak sesuai nilai dari Industri Pengolahan Susu (IPS).
“Kemudian, setelah nego-nego jadi (membayar pajak) Rp200 juta. Jika Rp 200 juta dibayar, masalah pajak 2018 selesai semua,” ucap Pramono dikutip dari keterangan unggahan akun X @kegb***.
Selanjutnya baca: Pramono kembali ke instansi pajak untuk bayar Rp110 juta<!--more-->
Pramono kemudian bayar tunggakan pajaknya senilai Rp200 juta tersebut. Namun, tak lama kemudian, dia kembali mendapat panggilan dari instansi pajak untuk urusan nan sama. Merasa tidak bisa memahami persoalan pajak, dia pun mengabaikan panggilan itu dan tetap bayar pajak tahunan.
Lalu pada Oktober 2024 lalu, Pramono kembali mendapat panggilan dari instansi pajak untuk melunasi tanggungan pajaknya. Dia pun diminta untuk bayar Rp110 juta.
“Kenapa (masih punya utang pajak), Rp200 juta itu katanya kan udah selesai. Kenapa kok (saya) tetap punya utang (pajak)?” tanya Pramono dikutip dari video nan dibagikan akun X @liaa***.
Dia pun sempat berbincang dengan pegawai instansi pajak nan memintanya bayar Rp 110 juta agar persoalan tanggungan pajaknya selesai. Dia juga diberitahu urusan rekeningnya nan diblokir bakal selesai dengan bayar pajak Rp110 juta tersebut. Meski begitu, Pramono mengaku bingung dengan kebijakan pembayaran utang pajaknya nan berubah-ubah.
“Katanya Rp200 (juta) saja, nyatanya nggak selesai. Nanti saya bayar Rp670 juta ya nggak selesai terus. Ya bingung toh saya,” ujar dia.
Adapun mengenai pemblokiran rekening Pramono, kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti mengatakan perihal itu merupakan bagian dari penagihan aktif. Kegiatan tersebut didahului dengan publikasi dan penyampaian Surat Teguran, Surat Paksa, dan Surat Perintah Melakukan Penyitaan kepada penunggak pajak/wajib pajak.
Jika sampai dengan pemisah waktu nan telah ditentukan penunggak pajak/wajib pajak belum melunasi tunggakan pajaknya, maka dilakukan tindakan penagihan aktif antara lain berupa pemblokiran nomor rekening.
“Artinya, tindakan pemblokiran tersebut bukan merupakan tindakan penagihan tahap pertama, lantaran sebelumnya telah dilakukan penagihan secara persuasif,” ucap Dwi.
Dalam upaya penegakan hukum, kata dia, DJP selalu berpegang teguh pada prosedur dan peraturan perundang-undangan nan bertindak serta tidak bersikap diskriminatif dengan tetap selalu menjunjung tinggi kode etik dan nilai-nilai Kementerian Keuangan, termasuk hak-hak wajib pajak.
X | ANTARA
Artikel ini terbit di bawah titel Kronologi Penampungan Susu di Boyolali UD Pramono Diminta Bayar Pajak Rp670 Juta