TEMPO.CO, Jakarta - Selama tiga tahun terakhir, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia menghadapi situasi semakin berat, mengakibatkan banyak perusahaan nan kudu tutup dan mem-PHK ribuan pekerjanya.
Sektor nan dulunya menjadi salah satu pilar ekonomi Indonesia ini sekarang diambang lembah kolaps, dengan beragam aspek nan berkontribusi terhadap penurunan tajam industri TPT. Menurut Danang Girindrawardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), ada beberapa argumen utama di kembali kehancuran industri ini, dan peraturan pemerintah mengenai kebijakan impor hanyalah salah satunya.
Salah satu perubahan nan paling signifikan adalah penerapan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor, nan memperlonggar ketentuan masuknya produk-produk tekstil impor ke Indonesia. Dengan adanya kebijakan ini, tekstil dari luar negeri – baik legal maupun terlarangan – masuk ke pasar Indonesia dengan lebih mudah, tanpa kontrol teknis nan ketat. Akibatnya, produk-produk impor dengan nilai nan lebih murah membanjiri pasar, membikin produk-produk lokal susah bersaing. Danang menyatakan bahwa akibat dari kebijakan ini, industri tekstil lokal kesulitan memperkuat lantaran tidak bisa menghadapi nilai rendah nan ditawarkan produk impor.
Dampaknya pun langsung terasa. Menurut info nan dihimpun API, sekitar 13.800 pekerja di industri TPT kehilangan pekerjaan akibat kebijakan ini. Meskipun nomor ini belum terverifikasi sepenuhnya, namun jelas menggambarkan besarnya gelombang PHK nan terjadi. Kegagalan perusahaan-perusahaan TPT lokal untuk memperkuat di tengah tekanan persaingan dengan produk impor telah memaksa mereka untuk melakukan PHK besar-besaran alias apalagi menutup pabrik mereka.
Selain kebijakan impor nan longgar, ada masalah lain nan memperparah situasi, ialah terjadinya kejenuhan pasar domestik. Disadur dari Koran TEMPO, dalam beberapa tahun terakhir, produk-produk tekstil impor nan masuk ke Indonesia semakin menumpuk. Pada tahun 2023, situasi mencapai puncaknya ketika produk impor nan tidak terserap pasar menimbulkan kejenuhan di pasar domestik. Masyarakat Indonesia memang tetap membeli produk-produk ini, tetapi daya beli nan relatif rendah membikin mereka tidak dapat menyerap seluruh peralatan nan masuk. Akhirnya, produk-produk tersebut menumpuk dan memenuhi pasar dalam negeri, memperparah krisis nan dihadapi industri tekstil lokal.
Nandi Herdiaman, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), menyatakan bahwa sekitar 60% industri TPT mini dan menengah sekarang sudah tidak beroperasi. Menurut Nandi, produk-produk impor ini dijual dengan nilai nan sangat murah, apalagi di bawah nilai bahan baku produk lokal. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa sebagian besar produk tersebut masuk secara ilegal. Jika barang-barang ini masuk secara resmi, semestinya nilai jualnya bakal lebih tinggi lantaran adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), bea masuk, dan bea safeguard. Namun, kenyataannya, produk impor tersebut dijual di bawah nilai Rp 50.000 per potong, sesuatu nan tidak mungkin dicapai oleh industri lokal. Persaingan nilai nan tidak setara ini membikin para pengusaha tekstil lokal tidak bisa bertahan.
Iklan
Di sisi lain, aspek eksternal juga memengaruhi banjirnya produk tekstil asing di Indonesia. Saat ini, Cina sedang mengalami oversupply alias kelebihan pasokan produk tekstil dan garmen. Hal ini terjadi lantaran pasar utama mereka di Amerika Serikat dan Eropa membatasi impor tekstil dengan bea masuk nan tinggi, sehingga produk-produk ini meluber ke negara-negara mitra jual beli lain, termasuk Indonesia.
Indonesia, nan mempunyai kerja sama perdagangan dengan Cina melalui Asia Pacific Trade Agreement (APTA), menjadi salah satu tujuan utama produk Cina untuk mengatasi kelebihan pasokan ini. Selain itu, Cina juga memperbanyak aktivitas eksibisi tekstil di Indonesia sebagai salah satu upaya untuk mengintervensi pasar domestik.
Kondisi ini menciptakan masalah berlapis bagi industri tekstil dalam negeri. Di satu sisi, produsen lokal kudu bersaing dengan nilai murah dari produk impor nan susah ditandingi. Di sisi lain, kebijakan perdagangan internasional membikin Indonesia susah membendung arus produk asing. Gelombang PHK dan penutupan perusahaan menjadi bukti nyata dari tekanan nan dihadapi industri ini. Banyak pabrik tekstil, baik besar maupun kecil, dari hulu hingga hilir, terpaksa tutup lantaran tak sanggup menghadapi persaingan nan kian tidak seimbang.
Nandi Herdiaman berambisi pemerintah dapat memberikan perlindungan lebih besar bagi produk lokal. Menurutnya, daya beli masyarakat Indonesia tetap cukup besar, dan pasar domestik nan kuat dapat menjadi penopang industri TPT dalam negeri. Ia menyarankan agar pemerintah menjaga kekuasaan produk lokal di pasar domestik, sehingga pengusaha tekstil mini dan menengah dapat memperkuat dan terus berkembang. Dengan kekuasaan pasar domestik nan dikuasai oleh produk lokal hingga 70%, dia optimis bahwa industri TPT Indonesia dapat pulih dan kembali berkontribusi pada perekonomian nasional.
MYESHA FATINA RACHMAN I KORAN TEMPO
Pilihan editor: Bercermin Sritex Pailit, Inilah 5 Penyebab Industri Tekstil Indonesia Mulai Kolaps