TEMPO.CO, Jakarta - Laporan Doing Good Index (DGI) 2024 mengungkapkan, kebijakan di Indonesia mengenai aktivitas filantropi dan inisiatif sosial dalam enam tahun terakhir stagnan apalagi nyaris tidak bisa mendorong kemajuan aktivitas tersebut. Minimnya perubahan dan perbaikan kebijakan ini tergambar dalam Laporan DGI 2024, nan mana Indonesia menempati posisi doing okay.
Predikat doing okay ini menunjukkan bahwa kebijakan dan ekosistem sektor filantropi dan nirlaba di indonesia tak banyak mengalami perubahan dan perbaikan. Akibatnya kurang mendukung inisiatif penduduk untuk melakukan baik, khususnya nan dilakukan melalui Service Delivery Organization (SDO) alias organisasi sosial (Orsos). "Sehingga Indonesia tidak beranjak menuju posisi nan lebih baik," demikian tertulis di dalam arsip laporan nan dikutip Rabu, 19 Juni 2024.
Posisi ini sama dengan laporan nan dirilis pada 2020 dan 2022. "Artinya, dalam kurun waktu tersebut nyaris tak ada upaya untuk memperbaharui dan memperbaiki kebijakan dan ekosistem sektor sosial nan kurang mendukung. Bahkan, condong menghalang aktivitas filantropi alias inisiatif sosial," seperti dikutip berasas laporan DGI.
Keengganan pemerintah melakukan perubahan dan perbaikan kebijakan ini juga berakibat pada peran dan support Service Delivery Organization (SDO) alias organisasi sosial (Orsos) dalam membantu pemerintah mengatasi masalah sosial masyarakat.
DGI sendiri merupakan kajian nan menggambarkan peta kebijakan, praktik lembaga dan lanskap sektor sosial di 17 negara Asia, termasuk Indonesia. DGI mengkaji empat sub indeks nan dinilai bisa memperkuat alias melemahkan inisiatif sosial. Mulai dari peraturan perundang-undangan, kebijakan pajak dan fiskal, lampau kebijakan procurement, serta ekosistem.
Posisi negara nan dikaji berasas empat sub indeks tersebut dikelompokkan dalam empat klaster pula. Mulai dari nan terburuk sampai nan terbaik, ialah Not Doing Enough, Doing Okay, Doing Better, dan Doing Well. Kajian dua tahunan nan dilaksanakan oleh Centre for Asian Philanthropy and Society (CAPS) melibatkan 2.183 SDO serta Orsos sebagai responden dan 140 panel ahli. Sedangkan penyelenggaraan riset DGI 2024 di Indonesia dilakukan bekerja-sama dengan PIRAC dan melibatkan 202 organisasi serta 12 pakar.
Laporan DGI 2024 menunjukkan, secara umum tidak ada perubahan signifikan dalam kebijakan dan ekosistem sektor sosial di Asia selama dua tahun terakhir. Walhasil, posisi negara-negara nan dikaji juga tak banyak berubah dibanding dua tahun sebelumnya.
Misalnya di dalam laporan tahun 2020 dan 2022, posisi Indonesia dalam laporan DGI 2024 stagnan di klaster doing okay bersama dengan Kamboja, India, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Thailand, dan Vietnam. Posisi Indonesia dalam DGI tetap di bawah Malaysia, Filipina, Jepang, Singapura, dan beberapa negara lainnya nan mengindikasikan mereka mempunyai kebijakan dan ekosistem sektor sosial nan lebih baik.
Direktur Eksekutif Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), Ninik Annisa, mengatakan kebijakan dan support sumber daya pemerintah menjadi komponen krusial dalam pengembangan sektor filantropi dan nirlaba di beragam negara. Kebijakan nan mempermudah dan memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya beragam inisiatif sosial, dapat mendorong perkembangan dan kemajuan sektor filantropi alias nirlaba. "Namun, seperti halnya negara-negara lain di Asia, SDO alias Orsos di Indonesia mempunyai masalah nan sama dalam memahami dan menerapkan izin alias peraturan perundang-undangan," kata dia pada Rabu.
Berdasarkan Laporan DGI 2024, hanya 22 persen organisasi nan disurvei menganggap undang-undang mengenai sektor sosial di Indonesia mudah dipahami, dibandingkan dengan rata-rata Asia nan sebesar 12 persen. Artinya, sebagian besar SDO alias Orsos kesulitan memahami kebijakan mengenai sektor sosial.
Iklan
Selain itu, penerapan alias penegakan izin alias peraturan juga jadi tantangan lantaran hanya 33 persen organisasi nan meyakini izin tersebut bisa diterapkan. Angka ini jauh lebih mini dibanding rata-rata di Asia nan mencapai 63 persen. "Artinya, penegakan kebijakan alias izin mengenai sektor sosial di Indonesia jauh lebih susah dibandingkan negara-negara lain di Asia," kata Ninik.
Meski demikian, pendirian alias pendaftaran SDO maupun Orsos di Indonesia dinilai lebih efisien dibanding negara-negara lain di Asia. Pendirian organisasi sosial di Indonesia hanya butuh waktu 19 hari, sementara di negara-negara lain di Asia rata-rata butuh waktu 123 hari. Akan tetapi, prosedur untuk izin beraksi di Indonesia dinilai lebih rumit lantaran butuh enam arsip izin alias rekomendasi dari lembaga tertentu. Sementara itu, prosedur perizinan di negara lain hanya butuh tiga arsip persyaratan.
Ninik menambahkan, kebijakan pajak dan fiskal di Indonesia mengenai sektor filantropi dan nirlaba tak mengalami perubahan signifikan. Imbasnya, Indonesia tertinggal dibanding negara-negara lain. Laporan DGI 2024 menyebutkan, 17 Negara Asia menawarkan insentif pajak untuk bantuan nan dilakukan baik oleh perusahaan maupun individu.
Tarif pengurangan pajaknya sangat bervariasi, dari 0 hingga 250 persen. Meskipun tingkat pengurangan pajak bisa mencapai 100 persen untuk sumbangan perseorangan dan perusahaan dalam konteks donasi, namun kebijakan pajak di Indonesia membatasi jumlah donasi. “Ini nan jadi penyebab insentif perpajakan menjadi kurang efektif. Tak banyak dermawan alias OMS (organisasi masyarakat setempat) nan mengaksesnya, lantaran insentifnya mini dan terbatas pada bagian alias program tertentu” kata Ninik.
Laporan DGI 2024 juga mencatat kebijakan mengenai procurement alias pengadaan peralatan dan jasa di RI belum efektif. Hanya 25 persen dari SDO dan Orsos nan disurvei mempunyai perjanjian pengadaan dengan pemerintah. Jumlah ini jauh lebih rendah dari persentase rata-rata di Asia nan mencapai 32 persen. Permasalahannya ada pada kemudahan akses info dan transparansi penyelenggaraan tender.
DGI juga memotret lanskap pendanaan SDO dan Orsos di 17 negara di Asia. Seiring dengan tren penurunan hibah dari lembaga donor internasional, SDO dan Orsos mulai beradaptasi dan mengantisipasinya dengan melakukan diversifikasi sumber daya. Salah satunya dengan menggalang sumber daya lokal.
Di Indonesia, 82 persen SDO dan Orsos menggalang dan menerima sumbangan dari perseorangan dan yayasan amal. Sementara 33 persen mendapat hibah dari pemerintah dan 49 persen menerima sumbangan dari perusahaan. Akan tetapi, proporsi support pendanaan dari sumber daya lokal tetap relatif mini dibanding jumlah hibah dari lembaga donor. "Namun demikian, mereka memandang tetap terdapat ruang untuk peningkatan bantuan dalam negeri asal didukung dengan kebijakan memudahkan dan memberikan insentif," tutur Ninik.
Pilihan editor: Indonesia Kembali Menjadi Negara Paling Dermawan, PIRAC: Namun Regulasi Belum Mendukung