TEMPO.CO, Jakarta - Baik tidaknya instrumen fiskal suatu negara bisa dilihat dari banyak aspek nan mempengaruhi, salah satunya adalah rasio utang. Proporsi idealnya berbeda-beda tergantung kondisi perekonomian dan anggaran nan dimiliki oleh pemerintahannya. Untuk mengambil kebijakan soal rasio utang diperlukan kehati-hatian untuk menentukan.
Pemerintah telah mengaturnya dalam Undang-undang. Hal krusial nan juga perlu dipahami, bahwa utang tersebut digunakan dalam rangka mendukung pembangunan nasional, disepakati berbareng antara Pemerintah dan DPR RI ketika membahas dan menetapkan APBN.
Penjelasan Soal Rasio Utang
Utang merupakan salah satu instrumen pembangunan. Dilansir dari Koran Tempo jenis 26 Januari 2024, utang dilakukan untuk mendukung pembangunan, terutama untuk pembangunan nan menjadi prioritas dan tidak bisa ditunda. Hal ini juga berfaedah agar tidak membebani APBN dan bakal menjadi bagian darinya. Untuk itu dalam masalah fiskal utang menjadi komponen nan penting. Guna mengukur keahlian utang jangka panjang, perlu diketahui nan namanya rasio utang.
Rasio utang sendiri dilansir dari Deskera merupakan parameter finansial negara nan mewakili utang terhadap modal. Rasio utang dihitung dari membagi total utang perusahaan dengan total aset, saham, dan ekuitas nan dimiliki negara.
Dalam contoh mini rasio utang di perusahaan digunakan untuk memandang keahlian perusahaan bayar kembali kewajibannya. Jika rasio utang lebih tinggi, perusahaan menerima lebih banyak duit melalui pinjaman berisiko, dan jika potensi utang terlalu tinggi, maka perusahaan berisiko ambruk selama periode tersebut. Hal tersebut juga bertindak pada negara. Maka, sebelum menentukan soal rasio utang, salah satu nan perlu diketahui adalah jumlah APBN negara.
Dikutip dari laman Kementerian Keuangan sumber pemasukan untuk mendanai pengeluaran APBN didapat dari Pendapatan Negara dan Penerimaan Pembiayaan. Pendapatan Negara diperoleh dari Perpajakan, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Hibah. Sementara Penerimaan Pembiayaan diperoleh dari penerimaan utang.
Instrumen-instrumen tersebut kemudian dibagi menjadi beberapa bagian sesuai kebutuhan pengeluaran. Seperti pengeluaran shopping nan bakal dialokasikan untuk Belanja Pemerintah Pusat nan juga di transfer ke Daerah dan Dana Desa.
Iklan
Kemudian shopping Pemerintah Pusat dialokasikan kepada kementerian/lembaga. Satu lagi untuk transfer shopping anggaran negara ke pemerintah wilayah bakal dialokasikan untuk APBD dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi fiskal dan menjadi pendapatan pemda nan bersangkutan, baik tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan desa.
Selain itu, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) juga mempunyai kegunaan lain ialah sebagai tolok ukur kesehatan kepemilikan utang pemerintah. Jika merujuk pada UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, pemisah kondusif rasio utang terhadap PDB tidak lebih dari 60 persen. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain di sekitar Asia Tenggara alias apalagi di negara maju nan rasio utangnya lebih tinggi misalnya seperti Jepang dengan rasio 200 persen dan Amerika Serikat dengan rasio utang 100 persen. Indonesia sendiri saat ini tetap pada nomor 39,3 persen.
Utang sendiri kudu dimaknai sebagai perangkat bukan tujuan. Apalagi tugasnya untuk mendorong keahlian pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Utang tak bisa dilakukan dengan semena-mena tanpa prinsip kehati-hatian. Indikator rasio utang nan rendah ini sering digunakan untuk memandang kesehatan finansial negara. Padahal nan juga kudu diperhatikan adalah keahlian bayar utang.
Seperti nan dilansir dari Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, pemerintah Indonesia mencari jalan untuk membikin kebijakan fiskal ekspansif guna menstimulasi perekonomian domestik saat ketidakpastian perekonomian global.
KORAN TEMPO | FISKAL KEMENKEU
Pilihan editor: Tim TKN Tepis Rasio Utang Prabowo 50 Persen, Begini Gambaran APBN 2025