TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom senior dari Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri berkomentar soal pabrik smelter PT Kalimantan Ferro Industry (KFI) di Kalimantan Timur nan membikin rumah penduduk retak. Ia menyebut perihal itu sebagai bukti bahwa norma tidak bertindak di area nikel.
Faisal menilai perizinan diterbitkan serampangan tanpa pertimbangan risiko. Apalagi pabrik dibangun tanpa kajian mengenai akibat lingkungan namalain Amda. Pasalnya, berasas pengakuan penduduk sekitar pabrik, ledakan membikin rumah penduduk retak lantaran jarak pabrik ke pemukiman hanya sejauh 21 meter.
"Soal patokan jarak, itu di luar kompetensi saya. Tapi kan ada standar (keamanan dan keselamatan)," kata Faisal ketika ditemui Tempo di area Jakarta Pusat, Rabu, 22 Mei 2024.
Standar keamanan dan keselamatan tersebut, kata Faisal, mestinya dibereskan melalui Amdal. Artinya, kepantasan lingkungan dan akibat ke masyarakat kudu betul-betul dicek. "Memenuhi syarat, nggak?"
Perizinan usaha, Faisal menjelaskan, bisa diukur melalui potensi risiko. Ia mengatakan, pabrik kerupuk berjarak 5 meter dengan rumah penduduk tidak bakal menjadi masalah lantaran resikonya rendah. Hal ini berbeda dengan pabrik smelter nikel nan menggunakan daya besar dan mempunyai akibat besar pula.
"Saya nggak punya kompetensi (bicara jarak). Tapi pegangannya ke perizinan. Kenapa bisa di situ?" kata dia.
Kabar retaknya rumah penduduk akibat ledakan pabrik smelter PT KFI pada Kamis-Jumat, 16-17 Mei 2024 disampaikan Marjianto, salah satu penduduk di sekitar area pabrik. Ia mengatakan, ada sekitar 20 rumah di RT 13 tempat tinggalnya nan retak. Dari video pendek nan diterima Tempo, sejumlah retakan tampak di tembok dan lantai. Ada juga keretakan nan terjadi pada kaca jendela.
"Di sini tetap banyak rumah kayu. Hanya ada beberapa nan rumah tembok dan semuanya mengalami keretakan," kata Marjianto, Sabtu, 18 Mei 2024.
Warga Kelurahan Pendingin, Kecamatan Sanga Sanga, itu mengatakan rumah retak bukan akibat pertama dari adanya pabrik smelter PT KFI. Pada hari-hari biasa, Marjianto mengatakan, penduduk sudah terganggu dengan kebisingan dan debu polusi nan ditimbulkan dari aktivitas pabrik.
Iklan
"Warga di sini hanya 21 meter dari pagar perusahaan tapi tidak ada kompensasi nan diterima penduduk mengenai debu, bising, dan lain-lain," ujarnya.
Owner Representative PT KFI M. Ardhi Soemargo menuturkan PT KFI menyatakan bakal bertanggung jawab jika terbukti kejadian ledakan pabrik smelter perusahannya meretakkan rumah warga. Senin kemarin, dia berujar bakal menurunkan tim untuk mengecek kondisi penduduk selama tiga hari hingga Kamis, 23 Mei 2024.
Namun, berita teranyar dari Marjianto, belum ada pengecekan dari PT KFI. "Belum," katanya ketika dikonfirmasi Tempo, Rabu, 22 Mei 2024.
Sejak awal, proyek pembangunan pabrik smelter di Kalimantan Timur ini menuai kontroversi. Laporan Tempo berjudul "Serampangan Proyek Pelebur Nikel Kutai Kartanegara) nan terbit pada 30 November 2023 lampau menyebut pembangunan smelter PT KFI diduga tanpa Amdal. Hal ini kemudian dibenarkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kalimantan Timur Rafiddin Rizal nan menyebut Amdal PT KFI tetap dalam proses dan menunggu surat kepantasan untuk diterbitkan.
Sementara itu, Owner Representative PT KFI M. Ardhi Soemargo perusahaannya telah mengantongi izin untuk membangun industri kertas pada 1996 di area nan sekarang dikelola PT KFI. Pihaknya berasumsi masyarakat sudah mengetahui keberadaan industri di area tersebut. Apalagi area itu sudah dipatok meski akhirnya menganggur selama 29 tahun.
“(Soal) Amdal, kami lakukan Amdal perubahan dengan nama KFI. Posisi sudah diterima tanpa terkecuali,” ujar Ardhi ketika ditemui di salah satu warung kopi di Samarinda pada 24 Agustus 2023. Saat itu, pihaknya sedang menunggu SKKL (surat keputusan kepantasan lingkungan) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pilihan Editor: Jokowi Akan 'Cawe-cawe' Beresi Bea Cukai, Ini Deretan Masalah nan Disorot Masyarakat