Lima dari Enam BUMN yang akan Ditutup Sudah Eksis Sejak Era Kolonial

Sedang Trending 5 bulan yang lalu

TEMPO.CO, JakartaDirektur PT Danareksa (Persero), Yadi Jaya Ruchandi, membeberkan ada enam perusahaan pelat merah alias Badan Usaha Milik Negara (BUMN) nan terancam bakal ditutup. Yadi menyampaikan perihal tersebut dalam rapat dengar pendapat berbareng Komisi IV DPR RI, Senin, 24 Juni 2024. "Yang potensi operasi minimum itu sebetulnya more than likely itu bakal kita setop, apakah kelak melalui likuidasi alias lewat pembubaran BUMN. Sebetulnya ujungnya ke sana," kata dia.

Enam perusahan milik negara nan berpotensi ditutup ialah PT Indah Karya (Persero), PT Dok Dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Amarta Karya (Persero), PT Barata Indonesia (Persero), PT Varuna Tirta Prakasya (Persero), dan PT Semen Kupang.

Berdasarkan penelusuran Tempo, lima dari enam Badan Usaha Milik Negara (BUMN) nan terancam tutup, rupanya sudah berdiri sejak era kolonial Belanda ialah PT Indah Karya (Persero), PT Dok Dan Perkapalan Surabaya (Persero), PT Amarta Karya (Persero), PT Barata Indonesia (Persero), PT Varuna Tirta Prakasya (Persero).

Kelima perusahaan di atas merupakan perusahaan milik orang Belanda nan diambil alih alias nasionalisasi pada era Presiden Soekarno. Pertama adalah PT Indah Karya, nan diambil alih pada 1961. Perusahaan bangunan ini awalnya berjulukan NV Ingenieurs Bureau Ingenegeren-Vrijburg (IBIV)  yang didirikan di Bandung pada 1 Mei 1936.

A.C. Ingenegeren, salah seorang pendiri NV Ingenieurs Bureau Ingenegeren-Vrijburg (IBIV), difoto di kantornya di Bandung pada 1937. BUMN hasil nasionalisasi pada 1961 kemudian berubah nama jadi PT Indah Karya dan masuk dalam daftar BUMN nan terancam ditutup (Universitaire Bibliotheken Leiden). Sumber: Buku Bouwen In Turbulente Tjiden: IBIV 1936-1957.

Kedua, PT Dok dan Perkapalan Surabaya awalnya merupakan perusahaan Belanda NV Drogdok Maatshappij nan didirikan 22 September 1910. Pemerintah kemudian mengambil alih perusahaan perbaikan dan pembuatan kapal ini pada 1961.

Kemudian PT Amata Karya nan diambil alih dari pengelolaan oleh Belanda pada 1962. Perusahaan ini awalnya berjulukan Robbe-Linde & Co. Perusahaan ini memproduksi baja dan bangunan jembatan. 

Sedangkan PT Barata Indonesia awalnya berjulukan Braat Machine Fabriek. Perusahaan ini didirikan oleh konglomerat Belanda berjulukan B. Braat Jnz pada tahun 1901. Nasionalisasi terhadap perusahaan ini terjadi pada 1962.

Terakhir ialah PT Varuna Tirta Prakayasa. Perusahaan nan bergerak di sektor pengiriman logistik ini diambil alih pada 1960. Pertama kali didirikan dengan nama Fa. Veem Combinatie Tandjoeng Priok pada 1947. Perusahaan ini hasil merger dari empat perusahaan veem, ialah N.V.Het Batavia Veem, N.V.Indische Veem, N.V.Java Veem dan Verenigde Prouwenveren nan sudah eksis sejak permulaan abad ke-19.

Iklan

Sejarawan Bondan Kanumoyoso dalam studinya menuliskan, era nan menandai nasionalisasi perusahaan asing terjadi saat peralihan kerakyatan parlementer ke kerakyatan terpimpin, ialah pada tahun 1957. Pada periode ini terjadi krisis ekonomi dan berkapak kepada jatuhnya kabinet Ali Sastroamidjojo nan ke II pada tanggal 14 maret 1957. “Sementara itu dalam masa transisi menuju sistem kerakyatan terpimpin, hubungan antara Indonesia dengan Belanda juga terus memburuk. Hambatan utama dalam hubungan tersebut adalah masalah Irian Barat,” tulis Bondan.

Kegagalan PBB mengesahkan suatu resolusi agar Belanda merundingkan suatu penyelesaian mengenai masalah Irian Barat, memicu sikap anti Belanda dan pengusiran orang-orang Belanda dari Indonesia. Pada 3 Desember, serikat-serikat pekerja Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) mulai mengambil alih perusahaan dan instansi jual beli Belanda.

Situasi ini didukung pemerintah Soekarno. Pada 5 Desember 1957, Departemen Kehakiman mengeluarkan perintah pengusiran terhadap 46.000 penduduk Belanda nan berada di Indonesia.

Sejak saat itu pemerintah Indonesia mulai mengambil alih pengelolaan perusahaan Belanda. Nasionalisasi dalam perihal ini, tulis Bondan, adalah pengalihan kepemilikan segala aset milik Belanda menjadi milik negara. Pemindahan ke tangan nasional bukan negara (ke tangan pihak swasta Indonesia) tidak termasuk dalam pengertian nasionalisasi, tetapi disebut dengan menasionalkan saja.

“Selama terjadinya nasionalisasi, kepemilikan 90 persen produksi perkebunan beranjak ke tangan pemerintah. Demikian juga dengan 60 persen nilai perdagangan luar negeri dan sekitar 246 pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, perkapalan dan sektor jasa. Dengan demikian nasionalisasi mengakhiri kekuasaan modal Belanda dalam ekonomi Indonesia,” tulis Bondan.

Pilihan editor: Ada Enam Perusahaan BUMN nan Terancam Bakal Ditutup, Apa Saja?

NANDITO PUTRA

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis