Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 191 ayat (1) dan (2) huruf h Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) nan diajukan oleh H. Usep Syaefulloh (Anggota DPRD Kabupaten Bogor 2019-2024, calon legislatif PAN) dan Defa Asyafa Saefullah (Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Jakarta).
Menurut Mahkamah, dalil para pemohon tidak berdasar menurut hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Mengadili: Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pengucapan putusan, Jakarta, Kamis (31/10).
Pemohon I Usep Syaefulloh menempati urutan ke-8 dalam perolehan bunyi calon personil DPRD Kabupaten Bogor Dapil 4. Ia tidak dapat ditetapkan menjadi personil DPRD Kabupaten Bogor Dapil 4 lantaran ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) huruf h UU Pemilu.
Dalam pertimbangannya, pengadil konstitusi Saldi Isra menjelaskan jumlah bangku di Dapil 4 Kabupaten Bogor pada Pemilu 2024 adalah 7 kursi. Menurun dibandingkan pemilu sebelumnya dengan 9 kursi. Perubahan itu disebabkan lantaran ada potensi pemekaran wilayah Bogor Timur dan Bogor Barat nan menunjukkan kekhususan dari segi luas wilayah dan jumlah penduduk.
Mahkamah, terang Saldi, menegaskan UU Pemilu hanya menentukan batasan-batasan nan berkarakter umum, sedangkan hal-hal nan lebih perincian termasuk penentuan jumlah bangku untuk setiap dapil adalah kewenangan penyelenggara pemilu untuk menentukan. Bahkan, lanjut dia, pada penyelenggaraan Pemilu 2024, unik dalam penentuan jumlah bangku tiap dapil pada kabupaten/kota, KPU telah melakukan penataan ulang jumlah bangku beberapa dapil termasuk dalam perihal ini jumlah bangku DPRD Kabupaten pada Dapil Bogor 4.
Saldi menjelaskan Pasal 191 ayat 1 dan 2 huruf h UU Pemilu berada dalam satu bab ialah Buku Ketiga Pelaksanaan Pemilu, Bab III tentang 'Jumlah Kursi dan Daerah Pemilihan'. Ketika menguraikan norma dalam Bab III, tutur Saldi, pembentuk Undang-undang memperhatikan prinsip kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu, proporsionalitas, integritas wilayah dan lain-lain.
Dengan merujuk pada prinsip tersebut, norma Pasal 191 ayat 1 dan 2 huruf h UU Pemilu merupakan salah satu bentuk kepastian dan perlindungan norma dalam penyelenggaraan Pemilu. Dalam pemisah penalaran nan wajar, kata Saldi, tanpa pembatasan dalam norma Pasal a quo, perlindungan dan kepastian norma dalam penyelenggaraan pemilu termasuk dalam perihal ini penentuan jumlah bangku pada setiap kabupaten/kota tidak bakal tercapai.
"Selain itu, mengenai perubahan alokasi jumlah bangku DPRD kabupaten/kota merupakan kewenangan pembentuk Undang-undang," ucap Saldi.
Ia mengatakan terhadap ketentuan UU nan merupakan kebijakan norma terbuka alias open legal policy, MK selama ini telah memosisikan diri untuk tidak memberikan penilaian terhadap norma demikian, sepanjang kebijakan norma terbuka tersebut memenuhi syarat tidak melanggar moralitas, rasionalitas, bukan ketidakadilan nan tolerable, tidak melampaui kewenangan pembentuk UU, bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan, tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan kedaulatan rakyat, dan lain sebagainya.
"Dalam konteks perkara a quo, Mahkamah tidak menemukan bahwa norma tersebut melanggar persyaratan kebijakan norma terbuka, dan kebijakan norma demikian tidak pula menimbulkan problematika kelembagaan," ucap Saldi.
"Norma Pasal a quo tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat, pemilu nan jujur dan adil, serta pengakuan, agunan perlindungan, dan kepastian norma nan setara dan perlakuan nan sama di hadapan hukum," sambungnya.
(ryn/fra)
[Gambas:Video CNN]