Nelangsa Janda Tiga Anak Tinggal di Gubuk 2x3 Meter di Hutan Sulawesi

Sedang Trending 2 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Seorang wanita paruh baya melangkah tergesa menapaki tebing perbukitan terjal. Raut wajahnya murung penuh kebingungan, sembari menenteng berkas nan dibungkus kantong plastik.

Tampak kepalanya terus mendongak menatap langit seolah sudah hapal pada tanah basah berbatu nan menjadi tumpuan kaki dengan sandal jepit nan nyaris putus itu.

Warga setempat memanggilnya dengan sapaan Amma Mar. Siang itu, dia baru saja bertandang memenuhi panggilan kepala desa di kantornya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah sekitar 20 menit melangkah hingga dahi berkeringat, tibalah dia pada sebuah gubuk kayu tambal sulam beratap daun rumbia nan berada tepat di punggung bukit berkemiringan lebih kurang 50 derajat.

Gubuk nan tertambat pada pohon kelapa dan dikelilingi rimbun pohon Kakao muda tersebut rupanya adalah rumah bagi sang Amma -- Ibu dalam bahasa Mandar -- ini.

"Ya, di sinilah rumah saya, tempat berlindung nan kami punya," kata wanita berjulukan komplit Marni (43), penduduk Desa Batetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat ini.

Tanpa canggung wanita berkerudung ini mengaku setelah ditinggal pergi suami dan resmi berpisah dua separuh tahun lalu, dia tak punya pilihan lain selain pulang ke kampungnya meski kudu tinggal di gubuk dekat rimba nan jauh dari pemukiman penduduk desa setempat.

Bagian dalam gubuk tambal sulam milik Marni (43) janda tiga orang anak nan hidup memprihatinkan di rimba Desa Batetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Selasa (2/7/2024). ANTARA/M Riezko Bima Elko PrasetyoMarni (43) janda tiga orang anak hidup memprihatinkan di rimba Desa Batetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Selasa (2/7). ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo

Sebelumnya dia tinggal ikut suami menempati rumah sederhana belasan tahun silam di Desa Bambaloka, Kecamatan Baras, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Setelah resmi berpisah sempat dia mencoba memperkuat menjadi pekerja harian di Baras, tapi bayang romantisme masa lampau nan kandas selalu menghantui batinnya.

Hingga pada awal Agustus 2021, Marni membulatkan tekad membawa Abdul, Mira, dan Fadly -- nama ketiga anaknya-- pulang ke Batetangnga. Dengan ongkos seadanya mereka mesti estafet naik turun kendaraan untuk tiba di Binuang dengan beberapa kardus berisi pakaian.

Butuh waktu 10-12 jam melintasi Jalan Poros Majene-Mamuju dan beberapa kali naik turun mobil, kemudian kudu dilanjutkan menumpang ojek motor ke kampungnya di ujung perbukitan Desa Batetangnga.

Saat itu pula kehidupan anak-anak Marni berubah drastis. Jangankan bersekolah, untuk waktu tidur nyenyak di rumah nan layak dan bermain seperti anak-anak pada umumnya pun mereka tak punya.

Putra sulungnya, Abdul (14), mesti bekerja di sebuah peternakan ayam untuk membantu perekonomian keluarga. Dalam satu bulan mendapatkan bayaran Rp500 ribu.

Begitupun Mira Wati (12) nan mesti membantu kerja apa saja mulai dari menjual cabe sisa panen di ladang saudaranya hingga membantu petik dan semai biji Kakao dengan bayaran Rp200 ribu - Rp300 ribu per bulan.

Hanya di gubuk berukuran 2x3 meter itulah mereka berlindung, melepas penat setelah bekerja seharian. Badan mereka mesti disusun sedemikian rupa demi mencukupkan ruang antara dasar tidur, perabotan dapur, dan tumpukan busana agar semua bisa beristirahat.

Bagian dalam gubuk tambal sulam milik Marni (43) janda tiga orang anak nan hidup memprihatinkan di rimba Desa Batetangnga, Kecamatan Binuang, Polewali Mandar, Sulawesi Barat, Selasa (2/7/2024). ANTARA/M Riezko Bima Elko PrasetyoBagian dalam gubuk tambal sulam milik Marni (43) janda tiga orang anak nan hidup memprihatinkan di hutan. ANTARA/M Riezko Bima Elko Prasetyo

Meski sudah dibuat se-nyaman mungkin, tapi mereka tak bisa mengelak dari dinginnya malam. Atap anyaman daun nan mengering dan pintu berlapis kain itu sudah semakin tak kuasa menahan guyuran hujan berikut hembusan angin perbukitan.

Marni mengatakan bahwa kondisi ini nan membikin putra bungsunya, Fadly, nyaris setiap malam selalu merengek minta dipeluk untuk menghangatkan tubuhnya. Dalam renungan malam dia kerap menangis memandang realita nan melanda sang buah hati.

Waktu berlalu hingga tak terasa nyaris tiga tahun sudah Marni dan anak-anaknya menghadapi hidup penuh kenestapaan, menghuni gubuk nan selalu basah saat hujan dengan sabar tak terhingga.

Tapi ada satu perihal nan dapat dipetik dari kisah singkat family ini. Meski menjadi orang tua tunggal tapi Marni tidak pernah sekalipun mengemis meminta kepedulian dari kerabat alias penduduk lainnya untuk meringankan beban mereka.

"Sudah dikasih kesempatan bermukim dekat dengan kerabat saya di sini, ya, sudah lebih dari cukup bagi saya," kata dia.

Berlanjut ke laman berikutnya...


Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional