TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman Republik Indonesia mengatakan terdapat sejumlah persoalan dalam tata kelola industri kelapa sawit, terutama mengenai jasa nan diselenggarakan oleh negara. Akibatnya, muncul potensi masalah nan bisa berujung pada maladministrasi alias kebijakan nan tidak sesuai dengan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan ada empat aspek nan menjadi potensi maladministrasi tersebut. Pertama, aspek lahan, di mana terjadi tumpang tindih antara Hak Atas Tanah perkebunan kelapa sawit dan Kawasan Hutan. Kedua, aspek perizinan nan berakibat pada rendahnya produktivitas Tandan Buah Segar (TBS). Ketiga, aspek tata niaga nan mempengaruhi pengelolaan biaya sawit, khususnya dalam program biodiesel. Terakhir, aspek kelembagaan nan melibatkan banyak kementerian dengan kebijakan dan izin nan tidak terintegrasi, sehingga menyebabkan beragam masalah penerapan di lapangan, seperti dalam kebijakan perizinan dan tata niaga industri kelapa sawit.
Oleh lantaran itu, Ombudsman menyusun kajian sistematik mengenai Pencegahan Maladministrasi dalam Pelayanan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit. Kajian ini bermaksud untuk mencegah terjadinya maladministrasi. "Kajian ini menekankan pentingnya integrasi kebijakan lintas sektor untuk mendukung pengembangan industri kelapa sawit nan berkekuatan saing, berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi, serta berkelanjutan," ujar Yeka di Kantor Ombudsman RI, Senin, 18 November 2024.
Yeka mengatakan pemerintah perlu menyelesaikan tumpang tindih lahan sawit dengan area hutan. Menurutnya, lahan sawit rakyat nan telah berstatus Hak Atas Tanah kudu dilepaskan dari area hutan.
"Pada sektor perkebunan sawit, pemerintah segera menyelesaikan pendaftaran budidaya perkebunan. Pada sektor kehutanan, pemerintah segera menyelesaikan tahapan pengukuhan area hutan," katanya.
Selanjutnya, Yeka menekankan bahwa pemerintah kudu mendorong peningkatan pendataan STDB bagi pekebun rakyat dan pemenuhan sertifikasi ISPO. Hal tersebut bisa dilakukan dengan perbaikan regulasi, pendampingan, pembinaan, dan pengawasan.
Kemudian, Yeka menilai pemerintah perlu segera melakukan perbaikan sistem perizinan pendirian pabrik kelapa sawit. Menurutnya, izin tersebut perlu diintegrasikan dan diampu oleh Kementerian Perindustrian dengan rekomendasi teknis dari kementerian nan membidangi perkebunan.
Selain itu, Yeka berujar pentingnya kebijakan terintegrasi untuk tata niaga hasil produksi kelapa sawit, baik di pasar nasional maupun internasional. Pemerintah kudu menjamin kepastian nilai TBS di tingkat petani (plasma dan swadaya) serta menerapkan hukuman bagi pelanggaran patokan nan ditetapkan.
"Pemerintah perlu membangun sistem pungutan nan berkeadilan pada ekspor hasil produksi kelapa sawit dan turunannya," imbuh Yeka.
Terakhir, Yeka menyarankan agar pemerintah membentuk Badan Nasional nan mengurusi tata kelola hulu-hilir industri kelapa sawit nan berada langsung di bawah Presiden RI. Menurutnya, badan ini perlu diberi kewenangan nan cukup untuk melakukan pengaturan, pembinaan, pendampingan, dan pengawasan mengenai urusan industri kelapa sawit.