TEMPO.CO, Banjarmasin - Masyarakat Dayak Batulasung menduduki lahan sengketa perkebunan sawit PT Jhonlin Agro Raya Tbk di Desa Cantung Kiri Hilir, Kecamatan Kelumpang Hulu, Kabupaten Kotabaru pada Kamis, 24 Oktober 2024. Aksi pendudukan kebun sawit ini diikuti ritual budaya Dayak dengan memasang ancak pada cabang sawit.
“Ritual adatnya memanggil roh nenek moyang agar menjaga, memelihara lahan alias tanah leluhur kami. Kemudian menjauhkan dari kemungkaran, keserakahan orang-orang nan telah merampok hak-hak budaya Dayak,” kata Sartono Petrus, sesepuh Dewan Adat Dayak Kalimantan Selatan nan ikut tindakan pendudukan kebun PT JAR, Kamis 24 Oktober 2024.
Melalui pendudukan lahan dan ritual adat, masyarakat mempertanyakan ganti rugi tanam tumbuh dan plasma atas 5.801 hektar kebun sawit Sungai Kamboyan Estate (SKBE) dan Sungai Mantawakan Estate (SMKE) milik PT Jhonlin Agro Raya Tbk. Dasar luasan lahan nan diklaim masyarakat merujuk pada tiga Peraturan Bupati Kotabaru: Nomor 50 Tahun 2020, Nomor 32 Tahun 2017, dan Nomor 201 Tahun 2022.
Tiga perbup itu mengatur pemisah manajemen Desa Cantung Kiri Hilir. "Di dalam tiga perbup ini terdapat kebun PT JAR dengan luasan 5.801 hektar," kata Penjabat Kepala Desa Cantung Kiri Hilir, Alekman.
Menurut Alekman, Kepolisian Sektor Kelumpang Hulu dan Koramil menyambungkan aspirasi masyarakat ke manajemen PT JAR. Setelah menunggu tiga jam di letak pendudukan lahan, kata dia, pihak kepolisian mengabarkan bahwa PT JAR siap mediasi dengan mediator Pemkab Kotabaru.
“PT JAR siap mediasi dengan penengah Pemkab Kotabaru. Kami segera bersurat ke Bupati Kotabaru. Kami juga minta manajemen PT JAR bersurat ke Bupati Kotabaru,” kata Alekman.
Kepala Adat Dayak Batulasung, Riwinto, mengatakan masyarakat berambisi penyelenggaraan mediasi sebelum pemungutan bunyi Pilkada Serentak. Menurut Riwinto, persoalan ini pernah mengemuka pada 2019 lalu, tapi belum ada solusinya.
“Ada ketidakpuasan masyarakat. Menurut kami 5.801 hektar itu rimba ulayat Dayak Batulasung, sehingga kami ada kewenangan di situ,” kata Riwinto.
Iklan
Riwinto turut mempersoalkan lahan sawit 96 hektar nan dikuasai oleh PT JAR dari pelepasan area lewat program TORA tahun 2019. Sebab, kata dia, lahan itu semestinya untuk pertanian masyarakat Desa Cantung Kiri Hilir. "Ternyata saat ini juga dijadikan kebun PT JAR," ucapnya.
Juru bicara dan legal PT Jhonlin Agro Raya Tbk, Dedy Hari Suprianto, menyerahkan persoalan ini ke Kepala Polsek Kelumpang Hulu dan abdi negara nan datang di lokasi. “Silakan langsung bertanya ke beliau, gimana kondisi lapangan,” kata Dedy.
Alekman mau mengakomodir masyarakat nan merasa punya surat penguasaan bentuk tanah, tapi belum menerima tukar kerugian. Padahal, kata dia, perolehan Hak Guna Usaha di atas penguasaan pihak lain, kudu diberi tukar kerugian tanam tumbuh sesuai kesepakatan.
Ia menyatakan siap berkompromi menentukan skema terbaik tukar kerugian tanam tumbuh tanah masyarakat nan belum menerima pembayaran.
Selain itu, kata Alekman, masyarakat mempersoalkan kemitraan plasma sawit oleh emiten berkode JARR ini. Ia mengingatkan perusahaan kudu menyisihkan 20 persen lahan untuk kebun plasma masyarakat dari total lahan nan diusahakan perusahaan. Di Desa Cantung Kiri Hilir, setahu dia, PT JAR belum melaksanakan pola 80:20, ialah 80 persen kebun inti dan 20 persen kebun plasma.
“Tanah itu dikelola masyarakat secara budaya sejak 1936. Tahun 2017 jadi lahan kebun sawit PT JAR, padahal belum pernah ditemukan berkas tukar rugi tanam tumbuh dan surat jual beli. Sosialisasi pun belum pernah,” ucap Alekman.
Pilihan Editor: Hashim Beberkan soal Pengemplang Pajak Sawit Rp 300 Triliun: Mudah-mudahan Gak Ada di Kadin