Penegasan MK soal Orang Tua Kandung yang Ambil Paksa Anaknya

Sedang Trending 2 jam yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengetesan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) soal pengasuhan anak nan diajukan oleh lima ibu, ialah Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani.

Para Pemohon menguji frasa "Barang siapa" dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946). Selengkapnya Pasal 330 KUHP ayat (1) menyatakan:

"Barang siapa dengan sengaja menarik seorang nan belum cukup umur dari kekuasaan nan menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, alias dari pengawasan orang nan berkuasa untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun".

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Amar putusan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Suhartoyo dilansir dari website resmi MK, Senin (30/9).

Awal mula permohonan

Permohonan dengan Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, ialah Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani.

Kelima Pemohon merupakan para ibu nan sedang memperjuangkan kewenangan asuh anak.

Dalam persidangan awal, kuasa pemohon Virza Roy Hizzal mengatakan para Pemohon seluruhnya mempunyai kesamaan, ialah setelah berpisah dengan suaminya, mempunyai kewenangan asuh anak.

Namun, tidak mendapat kewenangan tersebut lantaran mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa.

Misalnya nan dialami Aelyn Halim. Ia mengaku tidak mengetahui di mana puterinya nan berjulukan Arthalia Gabrielle berada, lantaran telah disembunyikan oleh mantan suaminya.

Selanjutnya Aelyn melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Namun, laporan Aelyn tidak diterima dengan argumen nan membawa kabur adalah ayah kandungnya.

Nasib serupa dialami Nur. Anak kedua Nur, diculik oleh mantan suami pada akhir Desember lalu. Hingga saat ini terlapor belum dijadikan tersangka dan tidak ada kejelasan mengenai keberadaan anak keduanya.

Virza menyebut negara kudu datang ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak.

Menurutnya, perbuatan memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya berakibat jelek bagi tumbuh kembang anak bukanlah ranah norma privat melainkan telah memasuki ranah publik dalam perihal ini norma pidana.

"Sehingga terdapat hukuman sesuai Pasal 330 ayat (1) KUHP bagi siapa saja nan melanggarnya. Tanpa terkecuali ayah alias ibu kandung dari anak. Namun, dengan ada penafsiran nan berpandangan ayah alias ibu kandung nan tidak dapat dianggap sebagai pelaku alias subjek norma sebagaimana frasa 'Barang siapa' Pasal 330 ayat (1) KUHP maka telah melanggar prinsip-prinsip negara norma dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945," kata Virza.

Menurut para Pemohon, frasa "Barang siapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sudah sepatutnya diberlakukan bagi setiap orang termasuk Ayah alias Ibu kandung dari anak, sebagai subjek hukum.

Tidak boleh ada pengecualian nan memberikan kekuasaan dan kewenangan absolut bagi Ayah alias Ibu jika sampai terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak sehingga tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya.

Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan frasa "Barangsiapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP nan berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch - Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), nan kemudian bertindak berasas UU 1/1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana jo. UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan norma mengikat, sepanjang tidak dimaknai "Setiap orang tanpa terkecuali Ayah alias Ibu kandung dari anak."

Pertimbangan hakim

MK dalam pertimbangan nan dibacakan oleh Hakim Konstitusi Arief Hidayat, menyatakan terhadap persoalan nan dihadapi oleh para Pemohon, ialah tidak diterimanya laporan para Pemohon lantaran terlapor bukan sebagai pelaku tindak pidana dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP, bukan menjadi kewenangan Mahkamah untuk menilainya.

Namun, menurut MK, semestinya tidak ada keraguan bagi penegak hukum, khususnya interogator Polri untuk menerima setiap laporan berkenaan dengan penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP, dikarenakan unsur "barangsiapa" nan secara otomatis dimaksudkan adalah setiap orang alias siapa saja tanpa terkecuali, termasuk dalam perihal ini adalah orang tua kandung anak, baik ayah alias ibu.

Setelah Mahkamah mempertimbangkan secara utuh dan komprehensif, Pasal 330 ayat (1) KUHP merupakan ketentuan nan diatur secara jelas dan tegas (expressive verbis).

Oleh karenanya, ketentuan dimaksud tidak perlu diberikan alias ditambahkan makna lain, ialah frasa "barang siapa" mencakup setiap orang, tanpa terkecuali ayah alias ibu kandung dari anak, sebagaimana nan didalilkan para Pemohon.

Menurut MK, dalam pemisah penalaran nan wajar, menambahkan pemaknaan baru terhadap Pasal 330 ayat (1) KUHP, termasuk seperti nan dimohonkan para Pemohon, justru bakal memosisikan norma a quo menjadi berbeda sendiri (anomali) di antara semua norma dalam KUHP nan menggunakan frasa "barang siapa" nan sesungguhnya berarti "setiap orang" alias "siapa saja", tanpa perlu memaknai dengan kualitas tertentu.

Hal tersebut justru berpotensi mempersempit jangkauan dari subjek norma nan menjadi addressaat norm Pasal 330 ayat (1) KUHP, termasuk juga pasal-pasal lain dalam KUHP nan menggunakan frasa "barang siapa".

Selain itu, menambahkan unsur "mencakup setiap orang, tanpa terkecuali dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sebagaimana dikehendaki para Pemohon bakal berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.

Sebab jika dalam ketentuan norma tindak pidana nan lain mempunyai subjek norma nan berkarakter unik maka dapat menimbulkan multitafsir jika tidak terlebih dulu dilakukan pemaknaan baru oleh Mahkamah.

Dengan demikian, Mahkamah berkesimpulan bahwa Pasal 330 ayat (1) KUHP telah memberikan perlindungan norma atas anak dan kepastian norma nan setara sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28B ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945.

Oleh karenanya, menurut Mahkamah, dalil-dalil para Pemohon adalah tidak berdasar menurut norma untuk seluruhnya.

(yoa/wis)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional