Peneliti BRIN: Siaga Bencana Sudah Jadi Budaya Nenek Moyang Kita

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Nuraini Rahma Hanifa menyebut budaya siaga musibah telah ada sejak era nenek moyang tinggal di wilayah  Nusantara.

Dalam sebuah obrolan di Jakarta, Jumat, 30 Agustus 2024, Nuraini mengatakan, perihal tersebut dibuktikan oleh adanya beragam istilah lokal dalam menamai kejadian kebencanaan tertentu, seperti lindhu di Jawa nan berfaedah gempa, alias oni di Mentawai, Sumatera Barat, nan berfaedah gelombang tsunami.

"Itu nan kudu kita gunakan dan jadi kultur kita, lantaran ini bukan perihal baru sebetulnya. Nenek moyang kita sudah ada budaya hidup dalam dinamika alam, ada bahasa lokal untuk gempa dan tsunami," katanya.

Nuraini menilai adanya budaya siaga musibah tersebut merupakan proses penyesuaian masyarakat terhadap bencana, lantaran Indonesia berada di wilayah nan dinamis, berbentuk kepulauan, dan berada di pertemuan lempeng-lempeng bumi.

Di wilayah Bayah, Banten, katanya, terdapat cerita kearifan lokal nan dtuturkan secara turun temurun, di mana ada kisah bahwa Bayah bakal di-kumbah (dicuci) dengan gelombang, kemudian kudu bergerak ke wilayah Kiarapayung.

"Ternyata, wilayah itu memang wilayah nan relatif lebih tinggi dan kondusif dari tsunami," ujarnya.

Nuraini mengemukakan adanya kebiasaan nan diturunkan oleh para sesepuh saat menghadapi musibah alam, seperti dengan memperhatikan perilaku satwa nan menjadi asing menjelang terjadinya musibah alam. Seperti satwa nan tiba-tiba bergerak dari dataran tinggi ke rendah saat bakal terjadi erupsi gunung berapi.

Menurut dia, perihal tersebut merupakan upaya nan kudu dilestarikan oleh masyarakat, sebagai upaya sadar bencana, sehingga dapat meminimalisasi akibat kebencanaan dan menyelamatkan lebih banyak nyawa jika terjadi musibah alam.

"Sejak era nenek moyang kita ini ada kulturnya, maka jangan sampai terkikis. Kita ini tinggal di wilayah nan dinamis, berada di tengah-tengah pertemuan lempeng bumi. Megathrust pasti ada, tetapi kita bisa kok beradaptasi. Jadikan itu budaya, itu nan perlu kita internalisasi," tuturnya.

Gempa Megathrust Tidak Dapat Diprediksi Waktunya

Dalam bagian lain penjelasannya, Nuraini Rahma Hanifa mengatakan tidak ada waktu pasti soal kapan gempa Megathrust terjadi di Indonesia alias di bagian Bumi nan lain. 

"Jika ada info tentang tanggal, bulan, dan tahun kapan gempa bakal terjadi maka bisa dipastikan itu hoaks, tapi jika peristiwa Megathrust memang betul ada. Bisa terjadi, kapan? mau lima menit lagi, 100 tahun lagi, itu bisa terjadi," kata Nuraini.

Iklan

Meskipun belum dapat diprediksi secara spesifik, Nuraini memaparkan musibah gempa besar seperti Megathrust bisa terjadi lagi di waktu nan bakal datang, lantaran musibah tersebut pernah ada di wilayah Indonesia pada era dahulu.  

Adapun letak musibah ini, diprakirakan bisa terjadi di sebelah barat Pulau Sumatera hingga selatan Pulau Jawa, mengingat wilayah tersebut merupakan wilayah pertemuan antara Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia nan rawan bakal guncangan.

Nuraini memaparkan adanya siklus tertentu pada gempa-gempa besar, seperti gempa Megathrust. Ia menyebut semakin besar gempanya, maka bakal semakin lama juga siklusnya.

Menurut dia, gempa besar nan melanda Aceh pada 2004 mempunyai siklus hingga 600 tahun sekali. Meski demikian, siklus tersebut hanya bertindak di titik gempa nan sama, setiap titik mempunyai siklus gempanya masing-masing.

"Pergerakan lempeng itu bisa kita ukur, besar daya juga, tapi gimana caranya dilepaskan kita gak tahu. Jadi bisa saja dilepaskan seperti gempa Pangandaran nan (kekuatannya) kecil-kecil, bisa juga besar seperti gempa Aceh," ujarnya.

Nuraini mengatakan, masing-masing tempat juga mempunyai pergeseran. Sebagaimana Pulau Jawa nan mempunyai potensi pergeseran lempeng bumi rata-rata sebesar 6cm per tahun, dengan siklus gempa nan diprakirakan terjadi setiap 400-600 tahun sekali, serta potensi pergeseran lempeng nan bisa dikeluarkan secara bertahap, maupun secara sporadis.

"Kalau 400 tahun dikali 6cm maka 24m ya, jika 24m itu dia mau mobilitas sekaligus, kita sudah menghitung kita mendapatkan nomor (potensi gempa) pada skala 8,8 Magnitudo, itu jika satu segmen Selat Sunda. Tapi jika satu segmen Pulau Jawa, maka dia berada pada 9 Magnitudo, mirip seperti gempa Aceh dan Jepang," katanya.

Namun demikian, dengan kekuatan gempa nan sama seperti di Aceh, Nuraini menyoroti gempa dan tsunami di Tohoku, Jepang, pada 2011, mempunyai korban jiwa nan lebih sedikit, ialah 17 ribu jiwa, sekitar 10 persen dari korban jiwa nan ada di Aceh.

Hal ini lantaran mitigasi musibah nan tepat, sehingga dapat mengurangi akibat kebencanaan untuk dapat menyelamatkan nyawa lebih banyak lagi jika terjadi gempa.

Pilihan Editor Kelas Menengah Indonesia Rentan Miskin, Jokowi: Semua Negara Sama

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis