TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi), Adhi Lukman, meminta pemerintah untuk mengkaji ulang rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen di tahun 2025. Menurut Adhi, kenaikan PPN bakal ikut mengerek biaya bahan baku dan produksi makanan dan minuman.
“Kenaikan PPN bakal berakibat besar pada rantai pasok, kenaikan bahan baku dan biaya produksi,” kata Adhi dikutip dari keterangan resminya, Selasa, 26 November 2024.
Adhi mengatakan, kenaikan biaya bahan baku serta produksi bakal mempengaruhi nilai jual barang, termasuk makanan dan minuman. Ia menyebutkan, kenaikan nilai jual tersebut nantinya bakal semakin menurunkan daya beli masyarakat. Hal tersebut pada akhirnya bakal menurunkan jumlah penjualan.
“Ujungnya bakal terjadi kenaikan nilai jasa alias produk, nan melemahkan daya beli masyarakat, sehingga utilitas penjualan tidak optimal,” ucapnya.
Menurut Adhi, selain menurunkan jumlah penjualan, kenaikan nilai jual juga bakal mempengaruhi tingkat konsumsi masyarakat. Ia khawatir, masyarakat bakal mengerem konsumsi lantaran memandang harga-harga peralatan nan semakin hari semakin tinggi, termasuk imbas kenaikan PPN.
Dampak kenaikan PPN 12 persen, kata Adhi, berpotensi memperlambat laju pertumbuhan konsumsi masyarakat. Selain itu, pertumbuhan industri makanan minuman juga bakal mengalami tekanan sehingga dapat memperlambat pemulihan ekonomi nasional.
“Masyarakat bakal mengerem konsumsinya. Hal ini bakal memperlambat laju konsumsi rumah tangga,” ujar Adhi.
Padahal, kata Adhi, konsumsi rumah tangga belakangan ini sudah menunjukkan tren pelemahan. Sementara selama ini konsumsi rumah tangga menjadi penopang pertumbuhan ekonomi dan berkontribusi sebesar 53,08 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Sebaga gambaran, per kuartal III-2024, konsumsi rumah tangga hanya bisa tumbuh 4,91 persen, lebih rendah dibandingkan kuartal II-2024 sebesar 4,93 persen.
Oleh lantaran itu Adhi berharap, pemerintah bakal memilih langkah lain untuk meningkatkan penerimaan negara. Salah satunya dengan menerapkan ektensifikasi PPN nan tetap berpotensi besar.
Apalagi, perihal tersebut dimungkinkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan (UU HPP), tepatnya pada pasal 7 ayat 3 nan menyatakan tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen.