TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), Yusuf Wibisono, mengatakan presiden terpilih Prabowo Subianto perlu meningkatkan rasio pajak (tax ratio) di kisaran 12 persen dari produk domestik bruto (PDB). Hal ini perlu dilakukan jika Ketua Umum Partai Gerindra tersebut mau merealisasikan seluruh janji politiknya.
Selama masa kampanye Pemilu Presiden 2024, Prabowo menjanjikan sejumlah program nan dinilai bakal menelan biaya besar. Program-program itu ialah makan bergizi gratis, kenaikan penghasilan aparatur sipil negara (ASN), membuka sekolah unggulan termasuk menambah 300 fakultas kedokteran, hingga meningkatkan produktivitas pertanian.
“Presiden Prabowo bakal menghadapi situasi nan semakin susah lantaran janji politik nan kudu dipenuhinya,” kata Yusuf saat dihubungi melalui aplikasi perpesanan, dikutip Selasa, 25 Juni 2024.
Yusuf menuturkan, janji-janji politik Prabowo hanya bisa direalisasikan jika Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 mempunyai tambahan ruang fiskal nan signifikan. “Dibutuhkan setidaknya tax ratio di kisaran 12 persen dari PDB,” kata dia. Namun, dia meyebut skenario ini sangat sulit, lantaran pemerintah dan DPR hanya berani menetapkan sasaran rasio pajak 2025 di kisaran 10,0-10,2 persen dari PDB.
Tanpa adanya kenaikan rasio pajak nan signifikan, Yusuf menilai pelanjutan proyek warisan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus memenuhi janji politik Prabowo bakal berimplikasi dua hal. Pertama, kenaikan utang pemerintah dan defisit anggaran. Kedua, pemotongan anggaran shopping tidak terikat (discretionary spending) seperti shopping prasarana alias shopping support sosial.
Ketika pasar memandang sikap Presiden Prabowo nan condong permisif dengan utang, Yusuf menilai langkah ini segera dipandang sebagai sinyal meningkatnya akibat fiskal. Hal ini diperparah dengan niat Prabowo meningkatkan rasio utang pemerintah nan sekarang di kisaran 38 persen menjadi kisaran 50 persen dari PDB,
“Dalam beberapa pekan terakhir ini kita memandang instabilitas nilai tukar Rupiah nan salah satunya dipicu oleh persepsi kenaikan akibat fiskal ini,” kata Yusuf.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mengatakan APBN 2024 tengah mengalami defisit Rp 21,8 triliun alias setara dengan 0,10 persen terhadap PDB pada Mei 2024. Defisit itu masih dalam kisaran kondusif dari sasaran defisit 2024 nan sebesar 2,29 persen.
Iklan
Per Mei 2024, pendapatan negara sebesar Rp 1.123,5 triliun alias turun 7,1 persen dibandingkan periode serupa tahun lalu. Sedangkan penerimaan pajak sebesar Rp 896,5 triliun alias turun 8,4 persen secara tahunan (year-on-year/yoy).
Penurunan pendapatan negara ini, kata Sri Mulyani, utamanya disebabkan nilai komoditas nan melemah, sehingga penerimaan pajak berkurang.
"Kami terus melakukan langkah-langkah berbareng kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah wilayah dari sisi transfer agar kita tetap menjaga prioritas pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, namun tidak membikin APBN menjadi sumber vulnerabilities," kata Sri Mulyani dalam konvensi pers ‘Kondisi Fundamental Ekonomi Terkini dan RAPBN 2025’ di Jakarta, Senin, 24 Juni 2024, seperti dikutip dari Antara.
Sri Mulyani menjelaskan, per 31 Mei 2024, realisasi pendapatan negara tercatat Rp 1.123,5 triliun. Sementara, shopping negara tercatat Rp 1.145,3 triliun. "Pada Mei ini primary balance kita tetap surplus Rp 184,2 triliun. Ini tetap sangat tinggi surplus dari primary balance."
HAN REVANDA PUTRA | ANTARA
Pilihan Editor: Airlangga Sebut Bank Dunia Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi RI jadi 5,1 Persen, Apa Saja Pemicunya?