TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha alias KPPU, M. Fanshurullah Asa berambisi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dapat mengalihkan penggunaan subsidi liquified petroleum gas (LPG) 3 kilogram ke pembangunan jaringan gas. Dia menilai, penggunaan jaringan gas bisa menghemat Anggaran Pendapatan Belanja Negara alias APBN.
"Kami memandang terkait LPG 3 kilogram ini sesuatu perihal nan menjadi problem kebangsaan ke depan," kata Fanshurullah saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Ahad, 7 Juli 2024. Menurut dia, jika masalah LPG 3 kilogram tidak diantisipasi bakal terjadi problem fatal bagi bangsa.
Sebab, menurut hitungan KPPU, lebih dari Rp 837 triliun dihabiskan selama lima tahun. Atau sejak 2019-2024, triliunan duit itu dikucurkan hanya untuk subsidi LPG 3 kg. "Artinya jika tidak diantisipasi tidak tertutup kemungkinan lima tahun ke depan, jika modelnya tetap seperti ini, lebih kurang Rp 1.500 triliun bakal kita habiskan (untuk subsidi), dua kali lipat dengan pengeluaran hari ini," tutur dia.
Menurut dia, pada 2019 lebih dari Rp 51 triliun dihabiskan untuk subsidi LPG 3 kg. Ditambah pada 2023 meningkat menjadi Rp 117 triliun. Angka itu, kata dia, menunjukkan peningkatan biaya subsidi meningkat berkali lipat. "Artinya terlihat itu berapa kali lipat? Itu fakta," tutur dia.
Dia menjelaskan, di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla alias SBY-JK, saat itu subsidi untuk minyak tanah mencapai triliunan rupiah. Namun di masa itu pemerintahan SBY-JK sukses mengkonversi subsidi minyak tanah Rp 4 ribu per liter nyaris dapat dihilangkan. "Hampir sedikit sekali subsidi BBM minyak tanah lantaran diganti dengan LPG, kan," tutur dia.
Dia menjelaskan, dengan cerita keberhasilan SBY-JK ini, bisa diikuti oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Pemerintahan mendatang kudu bisa mengkonversi dari LPG menjadi jaringan gas. Padahal, kata dia, penggunaan jargas lumayan sukses nan berjalan pada 2012-2019. "Hampir 600 ribu (sambungan rumah jaringan gas) dibangun. Mayoritas pakai APBN," kata dia.
Selanjutnya, dia menjelaskan, periode 2019-2024 skema APBN itu dihilangkan. Lucunya, kata dia, APBN itu digunakan untuk proyek pembangunan jaringan pipa transmisi gas. "Yang lelang biasanya pipa CISEM jenis I dari Semarang sampai ke Batang. Ini mau lelang lagi dari Batang sampai ke Kandanghaur," tutur dia.
Dia menilai pelelangan itu merupakan perihal aneh. Uang nan bisa digunakan untuk kepentingan rakyat—pembangunan jaringan gas—dipakai untuk kepentingan pipa transmisi nan sebenarnya sejak 2006 dilelang oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi alias BPH Migas.
Dia menjelaskan, pelelangan nan dilakukan dari 2006-2024, itu nyaris hampir 20 tahun lalu, saat itu ada perusahaan BUMN, seperti Pertamina maupun swasta berlomba-lomba untuk lelang. "Apa iya, 20 tahun kemudian, 2024, enggak ada nan minat (pelelangan)? Pipanya kudu pakai pipa APBN? Akal sehat saya enggak tahu itu. Di mana logikanya?" tutur dia.
Padahal, dia menjelaskan, jika berbincang suplay side dan demand side, prasarana bisa dibangun jika ada sisi suplay side-demand side. Dahulu, kata dia, saat bakal dililelang BPH Migas dalam rencana induk jaringan pipa transmisi dan penjelasan gas bumi nasional, ada alokasi gas di hulu, nan diambil dari Bontang, Kalimantan Timur. Sehingga dulu direncanakan pembangunan pipa transmisi Kalimantan-Jawa.
Iklan
"Karena inkonsistensi kebijakan kita dari kementerian A kementerian B, kemudian dihilangkan alokasi gas di hulunya tadi. Lalu gas itu diekspor LNG ke Jepang, ke mana lagi itu. Akhirnya dari sisi suplai enggak berjalan," ata dia. "Artinya alokasinya enggak ada."
Sementara dari sisi demand, Jawa adalah wilayah nan mempunyai banyak industri. Misalnya dari Kandanghaur-Cikarang, pipa transmisi gas telah tersedia. Juga pipa dari Subang-Citeureup-Tegal Gede. Jika pipa itu dihubungkan, dia berujar, demand-nya adalah pembangunan di wilayah industri, seperti Batang, Kendal, Balongan, serta Patimban, sebagai proyek strategis nasional (PSN).
Fanshurullah mengatakan, sepanjang area ini banyak sekali area industri nan bisa menggunakan pipa transmisi proyek jaringan gas. "Jadi, semestinya enggak perlu pakai pipa CISEM, (dibiayai) APBN," kata Fanshurullah. Sehingga pemerintah cukup mencari investasi dengan melelang proyek itu ke siapa pun.
Pengembangan jargas masuk dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Dengan menetapkan sasaran penggunaan jaringan gas hingga 2024 mencapai 4 juta sambungan rumah. "Namun sayangnya realisasi jargas sampai tahun 2024 hanya mencapai 20 persen dari sasaran APBN," kata dia dalam keterangan tertulis.
Dia menjelaskan, perihal itu disebabkan oleh kebijakan monopoli kepada PT Pertamina Gas Negara Tbk. nan tidak membuka dan melibatkan Badan Usaha Milik Daerah dan swasta berinvestasi di jaringan gas kota. Data menunjukkan konsumsi LPG 3 kilogram terus meningkat tiap tahun. Sementara LPG nonsubsidi stagnan dan condong turun. Dan terindikasi beranjak ke LPG bersubsidi.
Dalam catatan KPPU, tercatat tingkat konsumsi LPG 3 kilogram meningkat dari 6,8 juta metrik ton (MT) di 2019 menjadi 8,07 juta MT di 2023—tumbuh rata-rata 3,3 persen dalam lima tahun terakhir. Sejalan dengan itu biaya subsidi LPG 3 kilogram terus meningkat rata-rata 16 persen selama lima tahun dari Rp 54,1 triliun pada 2019 menjadi Rp 117,8 triliun di 2023. Tahun ini, terdapat alokasi subsidi LPG sebesar Rp 87,5 trilliun.
Sehingga sejak 2019, total subsidi nan diberikan pemerintah untuk gas sudah mencapai Rp 460,8 trilliun. Dengan fakta, kata Fanshurullah, kebanyakan LPG berasal dari impor. Maka bisa diperkirakan total nilai impor LPG selama periode 2019-2023 mencapai Rp 288 trilliun. Dengan membandingkan total biaya subsidi LPG dalam periode nan sama sebesar Rp 373 trilliun. Maka rasio biaya impor LPG mencapai 77 persen dari total subsidi LPG.
"Jika digabung dengan subsidi tahun ini, total biaya subsidi dan nilai impor tersebut mencapai Rp 833,8 triliun," ucap dia dalam keterangan tersebut.
Pilihan Editor: Alasan Erick Thohir Sebut PMN Tidak Hanya untuk BUMN Sakit, Tapi Juga Penugasan