Putusan MK Dianulir, Mungkinkah DPR Dengar Penolakan Rakyat?

Sedang Trending 1 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX
Daftar Isi

Jakarta, CNN Indonesia --

DPR secara tiba-tiba dan secepat kilat merevisi UU Pilkada setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat partai dan calon kepala wilayah di Pilkada 2024.

DPR langsung menggelar rapat Baleg dimulai Rabu (21/8) sejak pukul 10.00 WIB. Baleg DPR langsung membentuk Panitia Kerja RUU Pilkada.

Panja kemudian membahas daftar inventaris masalah (DIM) RUU Pilkada hanya memerlukan waktu sekitar satu jam. Lalu rapat dilanjutkan dengan penyampaian pendapat masing-masing fraksi mulai pukul 15.30 WIB.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pimpinan rapat Baleg DPR Achmad Baidowi namalain Awiek menyimpulkan RUU Pilkada disetujui oleh kebanyakan partai. Keputusan pun dibuat pada 16.55 WIB. Artinya, revisi UU ini hanya butuh waktu tujuh jam untuk disepakati ditingkat Baleg.

Baleg DPR menyepakati perubahan syarat periode pemisah pencalonan pilkada dari jalur partai hanya bertindak untuk partai nan tidak punya bangku di DPRD. Hal itu diatur dalam daftar inventaris masalah (DIM) Pasal 40 UU Pilkada.

Syarat usia minimal calon kepala wilayah sebesar 30 tahun untuk level calon gubernur dan 25 tahun untuk level calon bupati/wali kota juga dihitung saat pelantikan paslon mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA).

Hal ini bertolak belakang dengan keputusan MK nan dibuat pada Selasa (22/8). Melalui putusan 60, MK menyatakan partai alias campuran partai politik peserta pemilu bisa mengusulkan calon kepala wilayah meski tidak punya bangku DPRD.

Partai nan tidak memperoleh bangku DPRD, tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat presentase nan dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT).

Syarat parpol dan campuran parpol bisa mengusung paslon ialah memperoleh bunyi sah dari 6,5 persen hingga 10 persen, tergantung pada jumlah pemilih tetap di provinsi itu.

Kemudian, lewat putusan 70, MK menegaskan penghitungan syarat usia minimal calon kepala wilayah dilakukan sejak KPU menetapkan pasangan calon, bukan sejak calon terpilih dilantik.

DPR pun menjadwalkan bakal mengesahkan RUU Pilkada ini menjadi UU pada Rapat Paripurna DPR nan bakal digelar pada Kamis (22/8) pagi ini.

Kontroversi nan dibuat DPR ini membikin banyak komponen masyarakat marah. Desakan menolak RUU Pilkada pun makin menguat baru-baru ini.

Kemudian muncul pertanyaan apakah DPR bakal mendengarkan bunyi penolakan rakyat untuk membatalkan pengesahan RUU Pilkada di Rapat Paripurna hari ini?

Anggota DPR hanya operator bos besar, berambisi pada Puan

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menduga DPR bakal jalan terus mengesahkan RUU Pilkada menjadi UU dalam Rapat Paripurna hari ini tanpa mendengarkan aspirasi penolakan dari masyarakat.

Terlebih lagi, dia memandang delapan partai nan tergabung di Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus di Baleg DPR makin solid tak bisa dibendung.

"Saya kira sih sudah telanjur ya, pasti agendanya mau langsung disahkan. Jika lihat kekompakan delapan fraksi di Baleg kemarin, rasanya mereka susah dibendung lagi, lantaran mereka sesungguhnya hanya operator saja," kata Lucius kepada CNNIndonesia.com, Rabu (21/8) malam.

Lucius menilai sistem rapat paripurna DPR kudu dibicarakan terlebih dulu di Badan Musyawarah (Bamus). Sementara ketua Bamus merupakan para ketua DPR itu sendiri. Berarti, bakal ada peran Puan Maharani sebagai Ketua DPR di forum Bamus ini.

Ia menilai jika Puan tetap berpengaruh sebagai Ketua DPR, semestinya bisa menahan agenda paripurna Pengesahan RUU Pilkada ini. Terlebih, PDIP sebagai partai nan menaungi Puan telah menolak RUU Pilkada untuk disahkan.

"Kalau tak menahan, minimal alias mengulur-ulur lah," kata dia.

Lucius menilai pembahasan kilat Baleg DPR ini nampaknya juga dilakukan sebagai strategi untuk menghindari aspirasi dan partisipasi publik. Hal ini sangat bugil dipertontonkan DPR dan Pemerintah di ruang rapat Baleg pada pengesahan di tingkat I kemarin.

"Kalau bos besar sudah perintahkan, sebagai operator emang bisa apa? itulah kenapa DPR ini menjadi nampak rendah sekali ketika hanya bekerja atas pesanan pihak lain," tambahnya.

Menabrak konstitusi, bisa impeachment

Di sisi lain, Lucius beranggapan revisi UU Pilkada pada Pasal 40 dan syarat usia nan dilakukan oleh Baleg DPR telah menabrak konstitusi.

Baginya, melawan konstitusi merupakan kesalahan besar dalam praktek ketatanegaraan di Indonesia. Presiden, lanjutnya, bisa mendapat impeachment jika terbukti melakukan pelanggaran terhadap konstitusi.

"Begitu juga semestinya DPR, meski mungkin bukan impeachment nan bakal dilakukan, tetapi ya mungkin perlawanan langsung melalui demonstrasi kudu dilakukan," kata Lucius.

Terpisah, Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta menilai dorongan publik nan menolak RUU Pilkada ini makin menguat dan alasannya lebih konstitusional. Karenanya, dia berambisi pemerintah dan DPR tak main-main dengan RUU Pilkada nan penuh kontroversi ini.

"Itu tidak ada urgensi untuk mengubah undang-undang Atau membikin sebuah patokan baru [soal Pilkada]," kata Kaka kepada CNNIndonesia.com.

Publik tak percaya lagi DPR

Kaka berpandangan DPR tak semestinya membikin RUU Pilkada dengan norma nan bertentangan dengan isi dari putusan MK. Jika ini dipaksakan, maka sudah sepatutnya RUU Pilkada dihentikan.

Jika dilanjutkan, dia cemas DPR bakal merusak suasana kerakyatan dan menjadi gesekan antarwarga.

"Karena publik bakal tidak percaya pada pemerintahan dan DPR nan seperti itu. Dan sudah terlalu jauh DPR dan pemerintah ini bermain-main dengan kerakyatan dalam pemilu kemarin. dan sekarang bakal dipraktekkan di pemilihan alias pilkada. Saya pikir ini sudah susah percaya lagi kelak oleh publik ya," kata dia.

(rzr/DAL)

[Gambas:Video CNN]

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional