Said Abdullah Soal Amandemen UUD 1945: Peran MPR Harus Diperkuat

Sedang Trending 3 bulan yang lalu
ARTICLE AD BOX

Jakarta, CNN Indonesia --

Ketua DPP PDI-Perjuangan Said Abdullah menyoroti wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 setelah Pimpinan MPR berjumpa dengan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). Menurut Said nan perlu dipertegas adalah kebutuhan ke depan, bukan kembali ke naskah original UUD 1945 sebelum amandemen.

Sebab, kata Said, para pendiri bangsa sendiri mengakui bahwa konstitusi nan dirumuskan sebelumnya bukanlah nilai final. Butuh beragam penyesuaian baru nan sejalan dengan kemajuan zaman. Oleh karena itu, kata dia, memerlukan adanya Undang-Undang dasar nan lebih relevan.

"Salah satunya kerisauan kita atas kerakyatan nan dijalani saat ini kian berbiaya mahal. Akibatnya rekrutmen politik tidak semata mata mengandalkan pengabdian, integritas dan intelektualitas. Padahal nilai nilai itulah nan menjadi kehandalan para pendiri bangsa mendirikan negara ini," ujar Said dikutip Senin (1/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kemudian, lanjut Said, pemilu dengan sistem proporsional terbuka, ditambah budaya politik nan belum mature, membuahkan praktik pemilu nan layaknya arena jual beli peralatan dagangan di pasar.

"Padahal pemilu adalah arena kita mendapatkan putera putera terbaik nan dengan sepenuh hati, pikiran cemerlang, dan loyalitas pengabdian untuk bangsa dan negara," ujarnya.

Menurut Said, di negara-negara paling liberal pun, penyelenggaraan pemilihan tetap meletakkan pergulatan pendapat sebagai kasta tertinggi dalam penentuan keputusan politik.

"Sementara kita nan didasari oleh Demokrasi Pancasila memunggungi aliran ajarannya," ujarnya.

Padahal, lanjut dia, Demokrasi Pancasila itu ditegakkan atas fondasi nan kuat atas penghormatan; multikulturalisme, kewenangan asasi manusia, penghormatan terhadap kewenangan minoritas, keadilan sosial, penghargaan atas kejujuran, pengabdian, dan keteladanan.

"Nilai nilai itu kudu tercermin sistem perwakilan kita, serta praktik hidup berbangsa dan bernegara sehari hari," katanya.

Namun, dengan pemilu nan transaksional, hanya mereka nan bermodal ekonomi kuat, nan mempunyai kemungkinan besar terpilih. Apa daya dengan golongan kelompok adat, nan secara pedoman elektoral kecil, apalagi kekuatan ekonominya.

"Kelompok golongan seperti ini hanya menjadi bagian dari komoditas pemilu. Padahal Demokrasi Pancasila menempatkan mereka sebagai bagian krusial dari subyek keterwakilan politik. Lantas dimana makna keterwakilan minoritas?," ujarnya.

Dengan demikian, situasi semacam ini kudu disudahi. Yakni melalui amandemen UUD 1945, kudu dirumuskan kembali sistem pemilu nan menjawab kebutuhan untuk melakukan reformasi politik.

"Sejak awal PDI Perjuangan berkepentingan pada sistem pemilihan proporsional tertutup. Kita tahu sistem ini ditolak lantaran belum adanya kepercayaan terhadap partai politik," kata Said.

Namun opini nan berkembang, lanjut Said, proporsional tertutup tanpa disertai reformasi partai politik muncul sangkaan kian menguatkan oligarkhisme politik pada partai politik.

"Sangkaan ini bisa saya pahami. Oleh karena itu, PDI Perjuangan juga sejalan untuk mewujudkan partai politik nan modern, dengan terus berbenah diri," ujarnya.

Dalam kesempatan ini dia mengatakan, PDI Perjuangan dalam pengelolaan manajemen dan aset organisasi telah tersertifikasi, sehingga menyandang sertifikasi ISO 55001:2014 dan ISO 9001:2015.

PDI Perjuangan juga menempatkan diri sebagai partai nan terbuka. Hal itu sudah dilakukan PDI Perjuangan dengan membuka diri bagi seluruh penduduk negara untuk berkiprah, dan wajib menjalani jenjang kaderisasi dari pratama, madya, hingga utama.

Kemudian, bagi para calon personil legislatif dan pelaksana digembleng untuk memahami ideologi partai, visi misi dan garis perjuangan partai. Hal itu dilakukan agar kepemimpinannya menjadi jelmaan ideologi partai untuk kepentingan rakyat.

"Dari sisi finansial partai, PDI Perjuangan juga menjadi bagian dari subyek audit BPK, dan audit dari akuntan publik independen," ujarnya.

Poin krusial lainnya dalam amandemen UUD 1945, kata dia, adalah menguatkan peran MPR. Di mana sejak amandemen keempat UUD 1945, peran MPR menjadi gamang, hanya menjadi lembaga negara nan mengurus kegunaan fungsi umum kenegaraan seperti pelantikan Presiden.

"PDI Perjuangan berpandangan perlunya MPR ditempatkan sebagai lembaga negara nan berkuasa kembali menetapkan Garis Garis Besar Haluan Negara (GBHN)," ujarnya.

Menurutnya, ketiadaan GBHN membikin pemerintahan lima tahunan banget berjuntai orientasi pembangunan dari presiden terpilih tiap lima tahunan. Risikonya, presiden nan berbeda orientasi, maka berpotensi menganggu kelangsungan tahapan pembangunan jangka panjang.

Meskipun telah ada Undang-Undang nan mengatur rencana pembangunan jangka panjang, namun kewenangan pengawasan hanya ada di DPR. Padahal sistem perwakilan kita bikameral.

Dengan meletakkan kembali GBHN dalam ketatanegaraan, kata Said, maka bakal menguatkan pengawasan berbasis bikameral, ialah DPR dan DPD. Selain itu, kedudukan politiknya juga bakal lebih kuat, karena secara berbarengan ditetapkan kembali Ketetapan MPR (TAP MPR) sebagai hirarki norma nan berada di atas undang undang.

"Dengan demikian, sumber rujukan norma Mahkamah Konstitusi adalah UUD 1945 dan TAP MPR. Khusus penempatan TAP MPR sebagai sumber rujukan norma oleh MK semata mata dalam urusan pembangunan," ujarnya.

(inh)

Selengkapnya
Sumber cnnindonesia.com nasional
cnnindonesia.com nasional