Soal KRIS BPJS Kesehatan, Ini Kata Pakar FKUI Prof. Tjandra Yoga Aditama

Sedang Trending 6 bulan yang lalu

TEMPO.CO, Jakarta - Pakar pengetahuan kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof Tjandra Yoga Aditama, menyampaikan sejumlah pandangan mengenai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan nan mengatur seputar Kelas Rawat Inap Standar  (KRIS) dan BPJS Kesehatan.

"Pertama, istilah KRIS tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 nan dikeluarkan pada 8 Mei 2024, jadi baru hanya beberapa hari nan lalu, dan lantaran itu banyak jadi perbincangan dan nampaknya memang belum semua masyarakat mendapat kejelasannya," kata Tjandra Yoga Aditama dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat.

Ia mengatakan Ayat 1 pada Pasal 46A Perpres tersebut menjelaskan tentang kriteria KRIS, namun mengenai corak dan penetapan KRIS diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). "Artinya, kita tetap kudu menunggu Permenkes sebagai turunan dari Perpres nan baru keluar beberapa hari ini," katanya.

Tjandra nan juga mantan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) itu juga mengulas seputar faedah non-medis nan tertuang dalam Pasal 46 Ayat 6 Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2024.

"Pasal itu menyebut tentang faedah non-medis, nan di Ayat 7 disebutkan tentang sarana dan prasarana, jumlah tempat tidur dan peralatan nan diberikan berasas KRIS," katanya.

Dalam Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2024 ini, kata Tjandra, memang tidak disebutkan secara jelas tentang ada tidaknya penghapusan kelas perawatan di luar KRIS bagi peserta BPJS Kesehatan.

"Tidak disebut juga secara definitif tentang apakah bakal ada perubahan iuran bagi peserta BPJS alias tidak, dan apakah bakal ada alias tidak perbedaan iuran jika sekiranya perawatan di luar KRIS diperbolehkan, alias memang tidak diperbolehkan," katanya.

Hanya saja, Tjandra melanjutkan pada Pasal 51 memang disebutkan bahwa peserta dapat meningkatkan perawatan nan lebih tinggi dari haknya, termasuk rawat jalan pelaksana dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan, alias bayar selisih antara biaya nan dijamin oleh BPJS Kesehatan dengan biaya nan kudu dibayar akibat peningkatan pelayanan.

Terkait tarif dan iuran BPJS Kesehatan, kata Tjandra, Pasal 103b Ayat 8 Perpres menyebut bahwa penetapan dilakukan paling lambat tanggal 1 Juli 2025.

Dikatakan Tjandra, pelayanan rawat inap di rumah sakit hingga sekarang tetap mengangkat sistem nan sama hingga Permenkes mengenai KRIS terbit mendekati Juni 2025.

Iklan

Penentuan Tarif Harus Libatkan Masyarakat

Kepala Humas Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan, Rizzky Anugerah, menyebut pemerintah perlu melibatkan masyarakat dalam menetapkan besaran iuran untuk sistem KRIS. Sistem ini ditargetkan Presiden Joko Widodo bertindak mulai 30 Juni 2025. 

"Dalam merumuskan besaran iuran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) di masa mendatang, juga sebaiknya melibatkan partisipasi masyarakat melalui obrolan publik," katanya kepada Tempo pada Senin, 13 Mei 2024.

Menurut Rizzky, apa pun kebijakan nan kelak diterapkan, mesti ada kepastian bahwa setiap peserta bakal dilayani dengan baik. Di samping itu, juga dipastikan memperoleh info sejelas-jelasnya. Ia melanjutkan, bila pemerintah bakal menyesuaikan besaran iuran, tentu ada faktor-faktor nan kudu dipertimbangkan, dengan melibatkan pemangku kepentingan terkait.

Faktor tersebut termasuk mempertimbangkan kondisi dan keahlian finansial masyarakat. "Terkait penyesuaian iuran, nan kudu menjadi perhatian adalah perlu bauran kebijakan nan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, sebagai antisipasi potensi ketidakcukupan DJS (Dana Jaminan Sosial) Kesehatan dalam 2-3 tahun ke depan," tuturnya.

Sampai dengan saat ini, kata dia nominal iuran nan bertindak bagi peserta JKN tetap merujuk pada peraturan nan berlaku. Untuk peserta JKN segmen Pekerja Bukan Penerima Upah alias peserta berdikari kelas I, iurannya Rp 150 ribu, kelas II Rp 100 ribu dan kelas III Rp 42 ribu per orang setiap bulan. "Ada subsidi sebesar Rp 7 ribu per orang per bulan dari pemerintah, sehingga nan dibayarkan peserta kelas III hanya Rp 35 ribu."

ANTARA | ANNISA FEBIOLA

Pilihan Editor Antara Surplus 48 Bulan Berturut-turut, Ekspor Turun dan Pembatasan Impor Jokowi

Selengkapnya
Sumber Tempo.co Bisnis
Tempo.co Bisnis