TEMPO.CO, Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk alias Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober lalu, tepatnya melalui Putusan Perkara Nomor 2/Pdt.Sus Homologasi/2024/PN Niaga Smg.
Pengadilan tersebut mengabulkan permohonan pembatalan perdamaian nan diajukan PT Indo Bharat Rayon, salah satu kreditur Sritex, perihal penundaan tanggungjawab pembayaran utang (PKPU). Sritex sekarang tengah mengusulkan kasasi ke Mahkamah Agung terhadap putusan pailit tersebut.
Dengan pailitnya Sritex, total 50 ribu pekerja raksasa tekstil itu terancam mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Pemerintah menyatakan mereka bakal berupaya menyelamatkan para pekerja, dan Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan empat kementerian untuk mengkaji beberapa opsi.
Namun, pemerintah juga menyatakan support nan mereka tawarkan berupa non finansial. Belum ada pejabat pemerintahan nan memberi kepastian tentang kemungkinan opsi biaya talangan alias bailout.
Lantas, apa saja aspek nan membikin sebuah perusahaan pailit?
Pailit diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Menurut undang-undang tersebut, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit nan pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator.
Adapun, debitur bisa dinyatakan pailit ketika dia mempunyai dua alias lebih kreditur dan tidak bayar lunas sedikitnya satu utang nan telah jatuh tempo serta dapat ditagih. Pernyataan pailit dilakukan dengan putusan pengadilan, baik atas permohonan debitur sendiri maupun atas permohonan salah satu krediturnya.
Melansir dari beragam sumber, berikut faktor-faktor nan bisa membikin suatu perusahaan dinyatakan pailit.
Perusahaan Tak Mampu Bersaing
Salah satu aspek nan bisa menyebabkan suatu perusahaan pailit adalah jika dia tidak bisa bersaing di pasar. Artinya, ketika perusahaan tidak berinovasi alias melakukan penemuan dengan lamban, sementara kebutuhan konsumen berubah dengan cepat. Apalagi dengan tren dan produk baru nan bermunculan setiap saat.
Perusahaan bisa membikin kesalahan dengan kurang jeli mengawasi aktivitas pesaing, sehingga menjadi tertinggal. Ketertinggalan perusahaan bakal berakibat pada pendapatan, laba, dan keahlian keuangannya.
Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, sempat mengungkap bahwa pendapatan Sritex menurun akibat dampak pandemi Covid-19 serta persaingan industri global. Bahkan, dia menambahkan, pandemi dan kejuaraan jual beli tersebut telah menyebabkan penurunan pendapatan nan signifikan.
Kondisi Pasar Sulit
Iklan
Suatu perusahaan dapat mengalami pailit jika berada dalam kondisi pasar nan sedang sulit, alias kondisi perekonomian secara keseluruhan nan sedang memburuk. Situasi geopolitik pun bisa menjadi aspek penentu.
Berkaca pada kasus Sritex, ada aspek industri tekstil nan sedang tidak baik-baik saja. Selain tak bisa bersaing, kepala finansial Sritex berbicara perusahaan itu juga terpengaruh situasi geopolitik di beragam negara.
“Kondisi geopolitik perang Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan gangguan supply chain (rantai pasok) dan juga penurunan ekspor, lantaran terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat di area Eropa dan Amerika Serikat,” ucap Welly pada 24 Juni 2024.
Dia juga menjelaskan bahwa penurunan pendapatan perusahaan dilatarbelakangi oleh adanya suplai tekstil nan berlebihan dari Cina. Akibatnya, terjadi praktik dumping (menjual peralatan di luar negeri dengan nilai lebih murah), khususnya tekstil nan menargetkan negara di luar Eropa dan Cina.
Pengambilan Keputusan Buruk
Perusahaan nan kerap membikin keputusan jelek dapat berujung mengalami pailit. Misalnya jika perusahaan menetapkan nilai terlalu mahal di pasar, melakukan ekspansi berlebihan, alias melakukan pengeluaran tak terkendali.
Sritex pada akhirnya mencatatkan keahlian finansial nan jelek selama beberapa tahun belakangan. Perusahaan itu mempunyai utang upaya kepada kreditur sekaligus penggugatnya ialah PT Indo Bharat Rayon sebesar Rp 100.308.838.984.
Raksasa tekstil itu mempunyai total liabilitas sebesar US$ 1.597.894.876 alias sekitar Rp 25 triliun. Liabilitas tersebut didominasi liabilitas jangka panjang sebesar US$ 1.466.477.101 alias sekitar Rp 23 triliun.
Tanggungan finansial jangka panjang Sritex didominasi oleh utang bank sebesar US$ 809.994.386 alias Rp 12,7 triliun. Sritex mempunyai utang bank jangka panjang kepada 28 bank.
Menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah utang Sritex tembus Rp 14,64 triliun. Jumlah tersebut adalah total utang tercatat Sritex kepada 27 bank dan tiga perusahaan multifinance per September 2024.
Myesha Fatina Rachman dan Hammam Izzuddin berkontribusi dalam penulisan tulisan ini.
Pilihan Editor: Gibran Ajak Keluarga Bermalam Minggu di Koridor Jalan Gatot Subroto Solo, Bagikan Amplop ke Pedagang