TEMPO.CO, Jakarta - PT Sri Rejeki Isman Tbk. alias Sritex resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Kota Semarang. Sebelumnya, Ekonom Senior INDEF, Faisal Basri, sempat mengungkapkan beberapa aspek kejatuhan industri tekstil.
Informasi ini dibenarkan oleh Juru Bicara Pengadilan Niaga Kota Semarang Haruno Patriadi di Semarang, Rabu, 23 Oktober 2024. Adapun, kondisi Sritex pailit itu terjadi setelah pengadilan mengabulkan permohonan salah satu kreditur perusahaan tekstil tersebut nan meminta pembatalan perdamaian dalam penundaan tanggungjawab pembayaran utang (PKPU) nan sudah ada kesepakatan sebelumnya. Menurut Haruno keputusan inilah nan mengakibatkan perusahaan berkode saham SRIL itu pailit.
"Mengabulkan permohonan pemohon. Membatalkan rencana perdamaian PKPU pada bulan Januari 2022," ujar Haruno, seperti dikutip dari Antara. Dalam putusan pengadilan itu, ditunjuk juga kurator dan pengadil pengawas nan bakal mengatur rapat dengan para debut.
Direktur Utama PT Sritex, Iwan (Wawan) Kurniawan Lukminto, mengungkapkan argumen industri tekstil pailit alias sedang terpuruk, ialah aspek internal (dampak pandemi dan daya beli masyarakat menurun) serta eksternal (peperangan, perlambatan ekonomi global, peralatan masuk dari Cina alias impor, dan izin pemerintah).
Sejalan dengan nan dikatakan Iwan, sebelum wafat, Faisal Basri, antara lain dikutip dari laman indotextiles.com, sempat mengungkapkan beberapa aspek penyebab utama nan membikin sektor ini terpuruk.
Kendala Pendanaan dan Teknologi
Pertama, Faisal Basri menyebut salah satu halangan terbesar nan dihadapi oleh industri tekstil adalah pendanaan. Terutama untuk pengadaan teknologi baru nan semakin mahal. Selain itu, restrukturisasi mesin-mesin tekstil juga memerlukan biaya nan tinggi dan terkena pajak, membikin banyak pengusaha enggan melakukannya.
"Kita kudu melakukan improvement teknologi, lantaran teknologi makin bagus. Tapi tidak ada dana. Ditambah lagi, pasar Indonesia kebanjiran produk impor murah dari Cina. Misalnya, saya bikin dasi seharga Rp 100 ribu, sementara dasi impor hanya Rp 50 ribu. Ini membikin industri dalam negeri mati," kata Faisal di Jakarta, Sabtu, 6 Juli 2024.
Produk Impor Murah
Kemudian, banyaknya produk-produk tekstil impor murah, terutama dari Cina, telah menjadi tantangan besar bagi produsen lokal. Sebab nilai nan ditawarkan jauh lebih rendah, nan membikin produk lokal kalah bersaing di pasaran. Akibatnya, banyak perusahaan besar, terutama di Jawa Barat, enggan melakukan restrukturisasi mesin nan mahal dan kudu bayar PPN serta kembang nan tinggi.
Investasi ke Sektor Lain
Selain itu, Faisal juga menyoroti bahwa banyak pengusaha mulai mengalihkan investasinya ke sektor lain, seperti hotel dan properti. Hanya sedikit pengusaha nan tetap memperkuat di industri tekstil, itupun dengan mengandalkan skema maklon, di mana mereka hanya memproduksi peralatan atas permintaan pemilik merek tertentu dan mengandalkan pasar ekspor. "99% produknya ekspor, maklon saja. Mereka memesan bahan baku dari luar negeri dan menghasilkan produk dengan merek terkenal," tambahnya.
Iklan
Kebijakan Pemerintah
Menurut Faisal, pemerintah semestinya memberikan support kepada pengusaha lokal nan sedang kesulitan. "Anda bisa pesan dengan gadget Anda, satu tangan, satu biji, impor baju seragam seharga Rp 50.000 untuk tiga setel. Kita punya lembaga anti dumping tapi tak bersuara saja. Malah solusinya mengundang Cina untuk masuk ke sini, bukan membantu pengusaha lokal nan sedang kesulitan," pungkas Faisal.
Mundur lebih jauh, pada 2019, Faisal juga sempat menyinggung ihwal produk tekstil dari Cina nan membanjiri pasar Indonesia. Menurutnya Cina diduga melakukan underinvoicing dalam mengekspor produk tekstilnya.
Untuk diketahui, praktik underinvoicing merujuk pada praktik pengurangan nilai suatu peralatan pada tagihan dari nilai nan sebenarnya dibayarkan. Underinvoicing dilakukan oleh pembeli alias penjual nan mau bayar pajak lebih sedikit dari semestinya dengan merekayasa laba.
Praktik nan dikenal dengan pengurangan tagihan ini menyebabkan persaingan jual beli tekstil dan produk tekstil alias TPT tidak sehat. “Untuk kode HS 6111 (pakaian bayi dan aksesoris busana serta rajutan) misalnya, dari sisi Indonesia tercatat nilai impor dari Cina hanya 35,4 persen dari info produk serupa nan dicacat dari sisi Cina sebagai ekspor ke Indonesia,” ujar Faisal dalam obrolan online Indef, Selasa, 12 November 2019.
Pada 2018, industri TPT mengalami pertumbuhan nyaris 10 persen. Kemudian melompat menjadi 20 persen pada 2019. Faisal menyebutkan, komponen nan mendongkrak pertumbuhan industri ini adalah tingginya perdagangan produk busana jadi. Industri busana jadi, kata dia, banyak menggunakan bahan baku impor dari Cina.
“Karena pemerintah membuka lebar-lebar keran impor dan berdirinya Pusat Logistik Berikat,” tuturnya.
Faisal Basri menyebut, pemerintah mesti segera mengambil sikap atas adanya indikasi praktik persaingan tidak sehat Cina sekaligus menekan impor bahan baku busana jadi. Pertama adalah memprioritaskan impor bahan dengan under value yang paling besar.
Kedua, dia meminta pemerintah mulai menertibkan praktik jual beli di PLB. Ketiga, Faisal menilai intelijen jual beli perlu mencermati proses impor peralatan tekstil dan produk tekstil, mulai pengapalan hingga peralatan masuk ke Bea Cukai. Keempat, dia menyarankan ada pembenahan sistem Bea Cukai.
NI KADEK TRISNA CINTYA DEWI | RADEN PUTRI ALPADILLAH GINANJAR RACHEL FARAHDIBA |SEPTIA RYANTHIE | ADIL AL HASAN
Pilihan Editor: Bagaimana Kondisi Pekerja Sritex Setelah Perusahaan Diputus Pailit?